Menurut gue, Indonesia itu kekurangan orang jujur
bukan kekurangan orang pintar. Di Indonesia, orang pintar itu bejibun. Setiap
tahunnya selalu bertambah. Apalagi yang cuma lulusan SMA, ada jutaan orang
lulus setiap tahunnya. Yang lulusan S1, jaman sekarang pun udah bakalan susah
nyari kerjanya. Saking banyaknya, menurut tetangga gue, katanya, lulusan S1 sekarang
yang mau menjadi PNS aja IPK-nya minimal harus 3.8, dan itu kampusnya harus
terakreditasi B. Buset dah, yang mau jadi PNS dan IPK-nya harus segitu. Kenapa
nggak sekalian IPK-nya harus 4.0 aja, sih?!
Lagian kalau pun misalkan gue punya IPK segitu, gue
mendingan ngejar beasiswa sekalian, beasiswa yang untuk kuliah di luar negeri
kalau perlu. Ngapain malah melamar jadi PNS? Tapi sayangnya IPK gue nggak bisa
segitu. Untuk mendapatkan IPK di atas 3.0 aja gue harus rela kurang tidur,
kurang makan, waktu merindu pun harus dibagi-bagi sama belajar, saking udah
fokusnya belajar. Maklum, sistem kebut semalam. Ampuh banget buat gue belajar
sekaligus bikin otak stress.
Ok, kembali lagi ke kalimat pertama di atas, Indonesia
itu kekurangan orang jujur, bukan kekurangan orang pintar. Di Indonesia itu
banyak orang pintar, tapi apakah udah bersih dari yang namanya korupsi? Emang
pejabat-pejabat yang korupsi itu orang yang cuma lulusan SD? Nggak, mereka itu
punya gelar semua, bahkan sampai berderet gelar di belakangnya sampai-sampai
kalau nama dia dipanggil secara lengkap, bakal ngehabisin waktu setengah jam
sendiri. Ditambah lagi kalau semua anggota-anggotanya diabsenin satu-satu
dengan cara dipanggil, gue yakin orang yang nyebutin namanya mulutnya langung
berbusa.
Menurut gue, semua itu karena sistem pendidikan di
Indonesia yang lebih mementingkan nilai daripada proses ‘bagaimana untuk
mendapatkan nilai tersebut’. Kadang, seorang dosen ataupun guru tidak peduli
kenapa si anak bisa mendapatkan jawaban yang benar kayak begitu. Yang dia tahu
hanyalah, si anak tersebut bisa mendapatkan nilai yang bagus, dan meng-claim
dirinya sendiri kalau sistem mengajarnya sudah benar. Padahal, saat ulangan
berlangsung, dia keluar kelas setiap 5 menit sekali yang mana malah memebuat
enak para siswa yang lagi ujian. Lagian contek-mencontek dalam ulangan itu wajar
kok, orang yang dicari itu nilai. Jadi wajar aja bakal banyak anak yang
menghalalkan segala cara biar nilai dia bagus. Karena gue pun mungkin bakal
melakukan hal itu. Karena setiap gue ulangan, hal-hal yang udah gue pelajari,
pas ulangan gue malah lupa dengan apa yang gue baca semalam, atau hal-hal yang
gue pelajari di rumah, pas ulangan malah soalnya nggak keluar alias beda. Dan
di saat elu nggak bisa jawab, elu nggak tau jawabannya apa, lalu ada teman
sebangku lo yang udah selesai soal itu, dan dia juga bersedia ngasih tau
jawabannya ke elo. Apakah elo bakal menolaknya? Kalau gue sih nggak bakal, nggak
munafik juga, karena seperti yang gue bilang tadi, kan yang dicari nilai siapa
yang paling besar, bukan dapat dari mana nilai besar tersebut didapat.
Kalau misalkan gue jadi guru suatu hari nanti, sistem
belajar gue bukan siapa yang nilainya gede, lalu dapat nilai A, tapi siapa yang
ngerjainnya paling jujur, walaupun nilainya kecil, gue bakal ngasih dia nilai
A. Dengan cara, di setiap meja bakalan gue kasih CCTV. Setiap meja loh, ya,
bukan setiap ruangan. Lalu gue mengadakan ulangannya itu di bulan puasa, dan di
atas soal gue tulisin dengan huruf kapital dan semua kalimatnya gue bold, “INGAT,
INI BULAN PUASA, YANG MENCONTEK PUASANYA BATAL.” Dengan begitu, gue yakin
nilainya adalah hasil dari otak mereka sendiri, bukan dari jawaban orang lain.
Karena enggak apa-apa mau si murid nggak bisa jawab
juga, toh yang dicari kan bukan nilai. Tapi kejujuran.
“Terus bagaimana cara menilainya kalau semua anak
nilainya 0?”
“Nah, dengan segala cara penerapan yang udah gue
jelasin tadi di atas, baru nilai di sini berlaku. Jadi semakin besar nilainya,
maka semakin besar juga angka yang bakalan gue kasih. Misalkan ada anak yang
nilainya paling tinggi adalah 3, makanya yang nilainya 3 itu bakalan gue kasih
A. begitu seterusnya.”
Lagian, dari
yang udah-udah, orang-orang yang IPK-nya tinggi-tinggi, lulusan-lulusan
terbaik, hasilnya korupsi-korupsi juga ‘kan? Makanya, mending sekarang lebih
mentingin gimana caranya mendidik anak menjadi seorang yang jujur, daripada
menjadi anak yang pintar. Karena kepintaran itu gampang buat diraih, asalkan
dia minat dengan apa yang dipelajarinya. Semua anak itu jenius, tapi, mereka
beda-beda bidang kejeniusannya di mana. Nggak ada anak yang bisa semua mata
pelajaran, pasti aja ada beberapa yang dia nggak bisa. Beda dengan kejujuran,
kalau nggak dibiasakan dari kecil, sampai besar pun dia bakalan sering dan
akhirnya keterusan untuk ngga jujur.
Jadi intinya adalah Indonesia harus mengedepankan
pendidikan akan kejujuran, dengan cara membiasakannya pada mereka sedari kecil,
dibanding mengedepankan membuat anak-anak yang pintar.
Oke, segitu dulu dari saya. Mohon diambil hal-hal baiknya,
dan pikir kan yang buruk-buruknya, siapa tau itu adalah hal yang juga baik tapi
hanya salah dalam hal mengambil sudut pandang. Terimakasih. Salam dari saya, Calon
Presiden Indonesia 2030.
0 comments:
Post a Comment