WHAT'S NEW?
Loading...

Rindu, Biarlah Berlalu


Menulis adalah caraku membunuh rindu.
Sebuah laptop, secangkir kopi, dan secuil akan bayang-bayangmu.
Menjadi sahabatku kali ini.
Membayangkan manisnya senyummu, dan betapa ketidak-tau-aturannya cantikmu.
Curang ya kamu, masa cantik pun bisa tidak tau aturan?
Bisa tidak kamu menguranginya sedikit saja?!

Rindu ini amat jahat.
Rindu ini amat keji.
Rindu ini berbahaya.
Membiarkannya, bisa membuat nyawaku mati rasa.

Setahuku,
Ada dua cara untuk mengobatinya; Bertemu, atau hilangkan ingatan.
Tentu saja, bertemu denganmu adalah cara yang kupilih. Tanpa ragu.
Terlalu konyol jika aku pilih yang kedua.
Aku memang bodoh, tapi aku tidak gila.
Biarlah rindu ini aku nikmati, bersamaan dengan sakitnya hati.
Biarlah rindu ini aku rasa, hingga hati ini mati akan rasa.

Rindu ini masih menunggu, menantikan jawaban dari sang putri.
“Apakah di seberang sana, tuan putri merasakan hal yang sama?” ucap seekor kodok dari dalam got yang keruh. Bajunya lusuh, wajahnya teduh, dengan hati yang tunduh.
Rindu ini masih setia berpangku tangan, menunggu akan kepastian.
Hujan rintik adalah pasangan yang pas untukku saat ini.
Ditambah dengan kopi, semuanya akan menjadi seperti 5, setelah si 4 sehat.
Sempurna.
Selembar kertas, secangkir kopi, segenggam rindu.
Bukankah semuanya terasa merdu?
Menikmati rindu, bisa mematikan rasa.
Melawan rindu, sudah tidak ada yang perlu dirasa.

Rindu, biarlah berlalu,
Didekap, digenggam, dan ditahan dengan segenap jiwa raga.
Hingga semuanya menghilang,
Dengan sekejap mata.

Asal kamu tahu,
Rutinitasku sehari-hari tidak pernah jauh dari rindu.
Kerja-kuliah-rindu.
Bangun tidur-rindu-main-rindu lagi.
Bahkan di saat aku rindu, aku masih sempat-sempatnya untuk merindu.
Entahlah, aku pun tak mengerti semuanya.
Tapi tak apa, sebab, tak semua hal harus punya jawaban.
Seperti rindu ini, biarlah hilang bersamaan dengan arus angin.
Hingga tidak ada yang tahu.
Hingga tidak ada yang bisa mengingatnya.

0 comments:

Post a Comment