Ebi adalah mahasiswa fakultas hukum di salah satu universitas di Jakarta, ia sekarang sudah semester 4, kehidupan Ebi juga terbilang cukup baik, karena mengingat orangtuanya sanggup membiayai kuliahnya di Universitas yang cukup besar. Padahal, sehari-hari orangtuanya hanya menjadi agen warung di pasar. IPK Ebi di semester satu sangatlah buruk, hanya satu matakuliah saja yang mendapat nilai D, sisanya mendapat E. Karena Ebi adalah orang yang pemalu di kelas, malu untuk maju ke depan, malu untuk bertanya, malu untuk menjawab sesuatu yang ia tahu jika ada dosen yang bertanya, sekalipun di kelas itu hanya dia yang mengetahui jawabannya. Saking pemalunya Ebi, bahkan saat ia menyebrang jalan saat lampu merah pun, dia berasa sedang diliatin sama orang-orang, dan lalu ia menundukkan kepala. Tapi, Ebi termasuk orang yang rajin masuk kelas, absennya tidak pernah ada yang bolong.
Ebi juga menyukai Surti, teman kampusnya sejak ia semester satu, tetapi dia tidak
berani mengungkapkannya. Ebi takut terlihat bodoh, Ebi takut kalau putus nanti,
kuliahnya malah menjadi hancur. Jadi, Ebi lebih memilihnya hanya untuk menjadi
teman, karena bisa dekat dan bisa mengobrol dengannya, itu sudah lebih dari
cukup baginya.
Suatu hari, Ebi merasa jenuh dengan
hidupnya, rutinitasnya hanya kuliah-pulang-lupa pelajarannya-kangen Surti. Begitu
terus, sampai akhirnya dia bilang ke Mamahnya.
“Mah,
Ebi udah nggak kuat deh kuliah,” kata Ebi sambil mencari kutu Mamahnya itu,
“Setiap hari belajar terus, tapi gak ada satu pun yang nyangkut di otak,
percuma, cuma buang-buang duit sama waktu doang.”
“Terus
mau kamunya gimana?” tanya Mamahnya.
“Ebi
mau resign aja, mau mencari kerja, ngumpulin duit, terus buka usaha aja.”
“Terus,
kalau kamu kerja hanya bermodal nekat saja, tanpa punya bakat apalagi gelar, emang
kamu akan cepat punya duit buat buka usaha? Lagian, buka usaha itu juga butuh
ilmu, gak hanya ‘yang penting punya modal’ saja.”
Ebi
mematung.
“Kamu
punya seseorang yang kamu suka nggak di kampus?” tanya Mamah.
“Mmmm…
punya.”raut muka Ebi berubah menjadi sedikit pucat.
“Apa
dia yang menjadi beban kamu pas lagi ngampus?”
“Enggak.
Justru dia yang bikin Ebi rajin, Mah, berasanya pengen ketemu dia setiap hari.
Kalau udah di rumah, suka kepikiran, terus kangen, padahal baru aja sejam yang
lalu ketemu. Hehe.”
“Kalau
begitu, kamu tinggal deketin aja dia, jadikan dia motivasi belajarmu, jadiin
dia lawan belajarmu, jadikan juga dia sebagai alasan kamu harus tetap kuliah.”
“Kok
begitu?” Ebi terdiam. Kutu yang baru saja ia dapat, kabur seketika.
“Seseorang
merasa bosan, biasanya karena udah berkurangnya motivasi dalam dirinya, kalau
dia punya alasan kembali untuk melakukan itu, apalagi alasanya sangat kuat, dia bakalan kembali mengejarnya, bahkan lebih semangat dari yang
sebelumnya dia lakukan. Papah kamu juga dulu melakukan itu, makanya kamu
sekarang ada.”
“Jadi,
aku harus gimana?” Kata Ebi yang gak juga mengerti.
Mamahnya
menghembuskan nafas, mencoba tetap sabar, “Jadiin dia ‘lawan’ belajarmu.”
“Oh….
Oke, deh, aku bakal lakuin itu besok.” Ebi mengangguk.
Keesokan harinya.
Ebi
pulang dengan wajah tertekuk, rambutnya berantakan, kupingnya merah. Ibunya
yang sedang menonton tv sontak bertanya. “Kamu
kenapa, Bi?”
“Gara-gara Mamah kemarin, jadinya aku dipanggil sama rektor untuk ke kantornya,” Ebi langsung membantingkan tubuhnya ke sofa, “Aku habis dimarahin.”
“Lho,
kok, gara-gara Mamah? Memangnya kamu habis ngapain?”
“Iya,
kan, kemarin kata Mamah, aku itu harus ngejadiin gebetan aku itu sebagai lawan
aku,”
“Lalu?”
Tanya Mamah penasaran.
“Ya
udah, aku tonjok aja dia. Eh, malah dibawa ke kantor buat dikasih SP.”
Mamah
diam sejenak, lalu berkata.
“Gak apa-apa, ini semua salah
Mama.”
“Maksudnya,
Mah?”
“Iya,
salah Mamah, dulu pas Mamah lagi mengandung kamu, Mamah hobi banget ngemilin
mecin. Mecin malah jadi makanan sehari-hari Mamah waktu itu. Akhirnya begini
deh. Maaf, ya, Mamah menyesal.”
“I…
iya, Mah.” Ebi masih tetap bingung.
Mamah
pergi.
“Mau
kemana, Mah?” tanya Ebi.
“Mau
buangin mecin dulu di dapur, kayaknya mulai sekarang Mamah kalau masak nggak bakal pakai
mecin lagi deh.”
“Oh… Oke….”
“Oh… Oke….”
0 comments:
Post a Comment