WHAT'S NEW?
Loading...

Ebi: Nenek!



Pagi ini, gue lebih cepat bertemu dengan matahari. Gue ada janji mau main ke rumah Ebi setelah semalem janjian. Ini adalah pertama kalinya gue main ke rumah Ebi setelah udah sekitar setahun kenal. Gue udah janji untuk main laptop dan sekedar minta film ke rumahnya Ebi. Lumayan, di rumah Ebi ada wifi, bisa ngirit kuota di saat-saat kritis kayak begini.
Setelah sekitar 30 menit ngulet di kasur, handphone gue tiba-tiba berdering. Lalu gue mengangkatnya.
“Halo?” Kata gue.
“Pan, jadi ga ke rumah gue?” jawab Ebi.
“Jadi, udah lo siapin makanannya aja, gue lagi manasin motor nih,” Kata gue, lalu ngambil handuk buat mandi.
“Ya udah. Cepat, ya.” Tutupnya.
Selesai mandi, tanpa dandan terlebih dahulu, gue langsung pergi ke rumah Ebi mengikuti alamat yang udah di-share ke gue lewat whatsapp semalam. Jalannya lumayan jauh, melewati jalan-jalan yang masih pakai tanah, di samping-samping masih lebat sama pohon-pohon dan sawah-sawah. Gue takut, dengan ngikutin jalanan huta-hutan begini, nanti tiba-tiba gue udah di pedalaman Afrika aja. Nanti tiba-tiba gue malah ngelihat singa, gorrila, dan Tarzan. Tapi untungnya itu nggak terjadi, sekitar 1 jaman gue sampai di rumah Ebi, setelah dia menjemput gue di masjid di perempatan gang, padahal gue udah 3 kali muter-muter jalan itu.
“Ini rumah lo di hutan ya? Gue curiga selama ini elo itu tarzan, rumah kok di ujung banget.” Kata gue kesal.
“Jalan ke rumah gue ini sebenarnya bagus, lo aja yang disasarin sama google maps.”
“Disasarin gimana?”
“Sebenarnya dari sini juga bisa tinggal belok kanan, terus lurus aja ikutin jalan ini, ntar juga nyampe ke kampus, lo malah muter-muter.” Kata dia sambil menunjukkan jalan yang sudah beraspal.
Ye, elo sih nggak bilang!”
“Salah sendiri nggak nanya!” kata Ebi nggak mau kalah.
Gue pun ngegigitin hp.
Rumah Ebi ini bertingkat 2, halamannya pun cukup untuk dipake jogging, dan ada mobil pajero sport warna putih yang lagi terparkir di terasnya.
“Ya udah, ayo masuk.” Kata Ebi. Gue pun mengikuti.
Gue disambut dengan lampu yang besar menggantung di tengah ruangan, dan di bawahnya ada sofa-sofa besar dan empuk. Di ruang tamu ada seseorang nenek dengan tatapan kosong duduk di kursi goyang, menghadap tv lcd yang sedang menayangkan sinetron. Gue pun sempat salim ke nenek itu, yang direspon dengan tatapan datar darinya. Gue pun langsung pergi ke kamar dengan Ebi.
“Bi, nenek lo kok jutek banget sih sama gue? Lo habis ceritain gue ke dia yang enggak-enggak, ya?” kata gue sambil menaruh tas laptop.
“Nggak, dia itu emang begitu ekspresinya dari dulu. Maklum lah udah umur.”
“Oh…” gue mengangguk.
“Nih, kirimin film-film yang semalem gue minta itu ke elo.” Kata gue sambil memberi flashdisk.
“Iya, sabar, gue aja belum nyalain laptop gue.” Balas Ebi.
“Emak sama bapak lu pada ke mana emang?” kata gue berbasa basi.
“Bokap gue kerja, biasalah, sedangkan nyokap gue lagi mudik kemarin, ngikut sama saudara. Ada saudara gue yang nikahan di kampung. Jadinya gue sama Nenek itu sendirian. Makanya gue ngajak lo main, biar gue nggak bete.”
“Yah, elo mah emang dasarnya aja lo cobet!” kata gue.
“Haha sekalian lah,”
Akhirnya gue dan Ebi pun terlarut dalam suasana laptop, Ebi yang rumahnya dipasang wifi. Sambil dengerin lagu-lagu galau yang lagi ngetrend sekarang.
“Pan, sebenernya Nenek itu bukan Nenek kandung gue.”
“Hah? Bukan kandung gimana maksudnya?” kata gue terkejut.
“Iya, jadi nenek itu adalah adiknya nenek gue, dia baru sekitar setahun yang lalu keluar dari rumah sakit jiwa.”
“Oh… kok dia nggak tinggal sama anak cucunya aja daripada di keluarga elo, ya?” Naluri kepo gue tiba-tiba menggelinjang.
“Iya, justru itu, Nenek itu nggak punya anak dan nggak punya suami.”
“Oh… udah pada meninggal, ya?”
“Bukan, dia itu belum pernah menikah, makanya nggak punya anak.”
“Kok bisa sih?” tanya gue dengan level kepo yang udah di level 99.
“Kata nyokap gue sih, pas masih muda dulu, dia itu orangnya pemilih banget kalau masalah cowok. Ada yang suka sama dia, dia tolak. Giliran dia suka sama cowok, dia malah nggak berani ngomongnya. Orangnya pemalu banget buat ngomong duluan. Akhirnya begitu terus sampai tua. Sekarang mah boro-boro milih, ada yang mau aja syukur.”
“Berarti dia perawan tua dong?” Kata gue.
“Iya, bisa dibilang begitu. Terus dia juga gagal buat dapetin impiannya, makanya dia sampai gila.”
“Emangnya mimpinya dia itu apaan?”
“Dulu itu, dia punya toko sembako yang gede banget. Uangnya melimpah, tokonya rame banget. Sampai-sampai dia kayak melupakan kalau setiap orang itu butuh keluarga, padahal dia itu udah punya duit yang banyak. Tapi nggak juga menikah—atau lebih tepatnya, dia nggak menihkah. Sampai akhirnya ada peristiwa tahun 98, yang mana hampir semua toko itu dijarah semua, toko-toko dihancurin, barangnya diambil-ambilin. Semenjak itu, dia stress terus masuk RSJ.”
“Serem banget, ya.” Kata gue. Menelan ludah.
“Iya, begitu lah, makanya, saran gue, kalau lo lagi suka sama seseorang, mending bilang aja daripada keburu dia diambil sama orang lain. Atau kalau nggak berani, mending ngga usah jatuh cinta sekalian lah.”
“Bi, gue pulang dulu, ya.” Kata gue memberesakan barang-barang gue dengan cepat-cepat.
“Lo mau ke mana? Buru-buru amat.”
“Gue pengen nembak gebetan gue, gue nggak mau ngejomblo sampai tua!!”
“HAHAHA Ya udah, sukses ya!”
30 menit kemudian gue pun menelpon Ebi.
“Bi, gue dari tadi ngikutin jalan yang elu kasih tau nih, tapi malah banyak hewan-hewan buasnya. Lo ngebohongin gue, ya?”
“HAHAHAHA…” terdengan suara ketawa yang sangat keras.
“BANGKE, GUE DITIPU! AWAS LO YA!!”

3 comments: Leave Your Comments

  1. plot twist gini ya endingnya.
    kirain nelpon Ebi mau bilang kalau ditolak sama gebetannya.
    wqwqwq

    nyasar ke hutan Jumaji kali itu.

    ReplyDelete