WHAT'S NEW?
Loading...

Ebi: Absenin dong, bro!




Malam itu, gue masuk ke kelas yang cukup sepi. Hanya ada sekitar 15 orang di dalamnya dari sekitar 30 orang lebih yang biasanya selalu hadir. Pas gue datang, gue langsung duduk di bangku tengah. Gue nggak duduk di paling depan karena takut disuruh-suruh, nggak juga duduk paling belakang karena gue takut nanti ditunjuk buat maju ngerjain soal di papan tulis. Karena gue nggak bisa-bisa amat sama pelajarannya. Udah gitu, minggu kemarin ada tugas dari dosen ini yang belum gue kerjain. Atau lebih tepatnya; Nggak gue kerjain. Karena gue nggak ngerti, nanya teman pun sama sekali nggak ada yang bisa bantu. Ya udah, hari ini gue akan mencoba menghadapi dosen killer tanpa persiapan peluru dan senjata apapun.

Sekitar 10 menit kemudian dosennya pun datang, dengan kemeja hitam, dasi abu-abu, dan celana bahan hitam. Yang masih setia dengan kumis lebat dan rambut klimis seperti biasanya.
             “Selamat malam semua.” Kata dosen, sambil menaruh tas laptopnya.
             “Malam, Pak.” Kami sekelas menjawab.
Suasana kelas yang tadinya ramai dengan candaan kemudian tiba-tiba hening kayak kuburan, semua mahasiswa menjadi duduk dengan tertib dan rapih. Yang gue harap saat itu adalah, dia langsung masuk ke materi pelajarannya, dan dia lupa kalau minggu lalu dia ngasih tugas yang sama sekali nggak gue mengerti itu.
             “Jadi sampai mana pelajaran kita minggu kemarin?” Tanya si dosen.
             “Baguslah,” Kata gue dalam hati. “Ternyata dia nggak ingat sama tugas yang dia kasih minggu lalu, jadi bisa gue skip aja ke materi selanjutnya.”
            “Sampai di Bab 11, pak, ada tugas dari bapak minggu kemarin.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang, suara yang cukup jelas dan lantang. Kami sekelas dengan serentak melihat ke sumber suara itu, terdapat seorang perempuan, duduk di pojok kanan belakang, dengan kerudung biru tua, baju lengan panjang putih dan celana levis biru. Yang mana itu adalah temen gue, Surti. Dengan wajah yang tadinya penuh senyum, tiba-tiba wajahnya berubah setelah ditatap oleh teman sekelas, seolah-olah mukanya bertanya, “What’s wrong, dude?”
             “Oh iya, minggu kemarin saya ngasih tugas, ya? Maaf, sampai lupa bapak, ada yang mau maju?” Tanya dosen.

Sekelas hening. Hanya terdengar suara-suara bisikan ke arah Surti yang dilemparkan oleh anak-anak. Sementara Surti masih memasang tampang polos dengan senyum-senyum tidak bersalah. Terlihat anak-anak masih menatap Surti dengan tatapan seperti “Bego, lu!”
             “Saya aja yang maju, Pak.” Kata Surti.
Menurut gue ada dua kemungkinan kenapa Surti ingin maju. Satu, dia ingin ‘membayar’ kesalahannya itu karena sudah mengingatkan dosen yang lupa sama tugasnya, atau dua, ada teman gue yang nyuruh Surti maju dan sekarang lagi menodongkan pisau di belakangnya.
              “Jangan kamu, Sur, kamu sudah sering maju, biarkan yang lain.” Balas dosennya.
              “Iya, Pak.”
Detik demi detik pun berlalu menjadi menit, tidak ada satu orang pun yang maju.
Gue mencoba buat pura-pura membaca buku, mencoba tetap tenang, dan seolah-olah kalau pun gue yang ditunjuk, gue bisa melakukannya. Padahal sama sekali nggak bisa. Gue memasang tampang yang cool, dengan dahi sedikit dikerutkan, alis naik sebelah, dan mulut agak sedikit dimonyongin. Tampang gue persis banget kayak monyet habis distrum. Tapi gak apa-apa, daripada gue ditunjuk.

Maklum anak-anak nggak ada yang mau maju, karena terakhir, tepatnya minggu kemarin ada yang maju dan dia nggak bisa, terus dia disuruh berdiri sepanjang pelajaran di depan kelas, sampai pulang. Selalu seperti itu, dari minggu ke minggu, makanya kami semua kalau masuk kelas dia berasa lagi nonton film horor, tapi bedanya ini horrornya secara live. Udah kayak lagi ikut masih dunia lain.

Akhirnya, mungkin karena terlalu lama gak ada juga yang mau maju, pandangan dosen pun mulai menyapu seluruh isi kelas, melihat-lihat siapa yang akan menjadi ‘korban’ berikutnya. Dia berdiri dari bangkunya, matanya menyala, kepalanya bergerak dari kiri ke kanan ruangan, balik lagi dan berhenti dengan posisi kepala mengarah ke arah gue. “Itu, mas yang itu, maju.”

“DOOR!!” Entah kenapa suara itu seperi suara tembakan yang terdengar di telinga gue. Sebuah timah panas yang tiba-tiba meluncur deras ke arah jantung. Jantung gue mendadak dugem, darah gue mengalir dengan deras, otak gue berasa panas semua, keringat dingin pun mulai bermunculan. Gue mencoba menoleh ke arah dosen, dan berharap ada suatu keajaiban bisa menolong gue saat ini. Kalau aja waktu bisa diundur beberapa jam yang lalu, gue bakalan milih untuk nggak masuk aja hari ini. fak.

                “Saya, Pak?” Tanya gue dengan tatapan muka yang mencoba tetap terlihat cool, dan berharap orang yang dia maksud itu bukan gue.
                “Bukan, itu orang yang sebelah kamu itu.” Kata dosennya.
                “Oh…” Kata gue sambil menoleh ke arah kiri.

Apa yang terucap sama mulut gue: Oh…
Apa yang sebenarnya gue ucapakan dalam hati: JADI BUKAN SAYA, PAK? HAHAHAHA ALHAMDULILLAH HAHAHAHA KYAAAAA~ KYAAAA~

Ternyata yang ditunjuk adalah teman di samping gue, namanya Rendy. Terlihat ada keringat dingin juga di wajahnya, wajahnya pun tiba-tiba memutih pucat. Hal yang sama yang gue rasain beberapa menit lalu, dan yang gue rasain sekarang adalah perasaan lega.

                “Wei, gimana ini?” Tanya Rendy ke gue.
                “Gue juga belum, nggak ngerti gue!” Balas gue.
                “Haduuhh…”

Akhirnya Rendy pun maju, dengan langkah yang slow motion, sambil melihat-lihat isi buku dia, yang gue yakini padahal nggak ada jawaban sama sekali di bukunya. Gue yakin dia sengaja berjalan pelan-pelan sambil nunggu bel pulang, walaupun kelas baru aja berjalan sekitar 10 menitan. Rendy pun menulis soalnya di papan tulis. Tidak lama kemudian, buku absen dosen tiba di tempat gue, yang siap untuk ditandatanganin. Tiba-tiba gue teringat chat whatsapp dari Ebi, teman gue yang tadi siang katanya malas masuk dan ‘nitip absen’ ke gue. Teman yang kampret emang. Dia yang enak, gue yang dosa. Gue absenin, dosa. Nggak gue absenin juga guenya udah terlanjur janji, ujung-ujungnya gue dosa juga. Ya udahlah, mau nggak mau gue absenin aja.

Kelas sudah hampir pulang, Rendy belum selesai juga mengerjakannya di papan tulis, gue nggak ngerti, dia ngerjain soal apalagi gali sumur, kok nggak selesai-selesai. Sambil menunggu kelas yang cukup membosakan ini selesai, gue sesekali buka twitter, bales-balesin chat yang masuk, sampai gue iseng ngitungin jumlah hutang negara ini, Rendy belum juga selesai mengerjakannya.
                 
                   “Kamu sebenarnya bisa, nggak? Lama amat.” Kata dosen yang juga udah lumayan jenuh, padahal dari tadi dia main hp aja, gue yakin dia dari tadi dia habis wi-fi-an sambil nontonin vlog-nya Awkarin. Soalnya dari tadi ketawa-ketawa sendiri, sambil kumisnya pun ikut bergetar-getar. Gue yakin, kutu-kutu di kumisnya ngira itu kalau lagi ada gempa bumi.
                    “Nggak, pak.”
                    “Bukannya ngomong, mas, dari tadi. Ya udah sana duduk.”
                    “Makasih, pak.”

Akhirnya dia sendiri yang ngerjain soalnya, sambil menerangkannya kembali ke anak-anak. Satu langkah yang baik yang udah dilakukan si Rendy dengan mengulur waktu jam dosen killer ini. Tumben-tumbenan yang nggak bisa dibolehin duduk, fix ini dia lagi kesenangan karena habis nonton vlog-nya awkarin.

Selesai menerangkan pelajarannya, pas mau pulang, tanpa diduga ternyata dia mengecek kembali orang-orang yang hadir dari absennya, semua orang yang hadir dipanggil kembali sama dia lewat buku absennya tadi.

                     “Kok ini yang absen banyak banget, tapi yang hadir cuma sedikit?” Kata dosen, lalu menghitung orang yang hadir dan membandingkannya dengan yang ada di buku absenannya.  “Di sini ada 16 orang yang hadir, tapi aktualnya cuma ada 15 orang. Siapa ini yang melakukannya?”

Oh. My. God. I want to die right now. I want to kill my self. I did something stupid. Padahal sebelum-sebelumnya dia itu nggak pernah ngecekin orang yang ada di absenan itu, dan anak-anak yang lain pun sering kok ngelakuinnya. Tapi kenapa giliran sekalinya gue yang ngelakuin malah kena begini?

“Kalau tidak ada yang mengaku, akan saya panggil orangnya satu per satu.”
“Adam?”
“Hadir”
“Amel?”
“Hadir”
“Ebi?”
“Ebi?”
“Ebi nggak ada nih? Tapi kok di sini dia hadir ya? Hmmm… pulpennya biru.” Lalu dia melihat ke absen bawahnya. “Sama kayak Irpan. Irpan ada?” Ternyata yang hadir di sini cuma gue doang yang pakai pulpen biru. Dan bodohnya adalah…. gue nggak menyadarinya sama sekali. Seriously, I’m stupid af.

“Saya, pak.” Kata gue sambil menunjukkan tangan.
“Ini yang ngeabsenin Ebi kamu atau bukan?”
“Hehehehehe…”
“Oh jadi kamu ya selama ini pelakunya, kamu yang selama ini sering absenin orang-orang yang nggak masuk? Kamu saya hukum ya, mulai sekarang kamu harus…”
“Teeeeeeeeettttttt.” Tiba-tiba terdengar suara bel pulang.
“Udah bel, pak, saya pulang dulu, ya!” kata gue langsung lari meninggalkan kelas. Dengan tangan lurus menghadap ke belakang sambil melewatin teman-teman gue yang ngalangin jalan, gue lari secepat-cepatnya kayak Naruto yang lagi mengejar musuhnya. Gue harap sama seperti yang tadi, semoga minggu depan dia lupa dengan kejadian ini, kalau pun sampai minggu depan gue kena, Ebi yang harus tanggung jawab akan semua ini. Gue bakalan balas dendam, gue bakal diam-diam buka hp dia dan gue bakal youtube-an sampai dapet SMS dari operator kalau kuotanya habis. Hahahahaha.

Thanks god for the miracle.