Hujan-hujanan
Langit masih setia membasahi bumi sedari pagi, aku pun terperanjat keluar untuk mencari sumber suara. “Ada
adiknya, nggak, Kak?” tanya seorang anak kecil bersinglet, bercelana pendek, dan
basah kuyup sambil memegang sebuah bola karet. “Ada.” Jawabku. Seketika aku
memanggil adikku. “Kak, Main, ya?” Kata adikku yang langsung lari menghampiri
temannya, tanpa memperdulikan apa jawabanku terlebih dahulu.
Aku langsung melihat ke arah
lapangan di samping rumahku dari teras rumah, terlihat sudah banyak anak-anak
lain yang menunggu di lapangan. Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung membagi
timnya dan langsung bermain bola.
Dengan sebuah handphone di tangan,
dan sebuah lagu pop dari Ungu-Demi waktu, tiba-tiba pikiranku dibuat melayang
dengan sendirinya. Terbesit kenangan semasa kecil ketika aku bermain
hujan-hujanan, yang mana dulu aku harus meminta izin ke ibuku dulu dengan
siap-siap menerima omelan darinya. Ibuku memang paling jarang membiarkan
anaknya hujan-hujanan, dia terlalu khawatir jika setelah itu anaknya akan
langsung sakit.
Pernah, di suatu siang yang
mendung, saat aku sedang bermain di rumah teman, tiba-tiba turun hujan di luar
dengan sangat deras. Teman-temanku langsung membuka bajunya dan bersiap main
hujan-hujanan sambil bermain bola, sedangkan aku hanya berani menatap mereka
sambil membayangkan ekspresi ibuku jika aku bermain hujan-hujanan dan ketahuan,
apalagi belum izin terlebih dahulu. Aku membayangkan Ibuku dengan dua buah
tanduk di kepalanya, sayap yang melebar di kedua punggungnya, dan mata yang
menyala-nyala. Aku hanya bisa sesekali tersenyum di bawah asbes rumah teman, dan
sesekali tertawa ketika melihat ada temanku yang jatuh terpleset.
Aku iri dengan teman-temanku, mereka semua
tampak sangat bahagia. Sekitar 10 menit berjalan, dengan segala akibat yang
sudah aku coba hilangkan dari pikiranku, akhirnya aku beranikan diri untuk
bergabung dengan teman-teman sambil melepas baju. Kami semua bermain bola,
tanpa memperdulikan hal-hal lain. Sekitar 40 menit berjalan, akhirnya hujan
reda. Teman-temanku langsung pulang dan cepat-cepat mandi sebelum sakit kepala
dan masuk angin, ada yang dipanggil Ibunya, ada juga yang pulang dengan
sendirinya. Beda denganku yang tidak berani langsung pulang karena pakaianku yang masih
basah kuyup semua. Aku pun tetap berada di lapangan, seorang diri dan berharap
matahari yang baru saja nampak akan secepat kilat untuk mengeringkan pakaianku
semua, aku berharap ini bisa mengembalikan penampilanku seperti sedia kala. Secepatnya.
Untuk mengatasi bosan, kadang aku mencoba
sambil berjalan-jalan mengelilingi lapangan. Angin-angin kecil kuharap bisa
mempercepat proses pengeringan ini. Sekitar 20 menit aku mencoba mengeringkan
pakaianku, tiba-tiba ada seseorang yang datang ke arahku. Seketika jantungku
mulai mencuat, badanku menjadi bergemetar. Seorang perempuan memakai kaus merah,
memikul satu tongkat sapu, dengan mata yang tampak menyala. Yang tak lain
tak bukan adalah Ibuku sendiri. Ibuku yang sekarang lebih menakutkan dibanding
seekor singa hutan, lebih menyeramkan dibanding sesosok hantu, dan lebih
berbisa daripada seekor ular. “Pulang, kamu!” kata Ibu sambil mengarahkan
sapunya ke arah rumahku berada. “Iya…” Kataku setengah gemetar. Tanganku saling
menjabat satu sama lain, berharap ada keajaiban yang datang—sembari
menghangatkan badan.
Di jalan, aku sengaja menjauhkan
jarak dengan ibuku, aku tidak mau sepanjang jalan pulang aku terus diomeli, aku
tidak ingin terdengar oleh teman-teman. Jarak dari tempat mainku tadi hingga ke
rumah sekitar 30 meter, dengan jarak segitu pula aku terus-terusan memikirkan
apa yang akan terjadi dengan nasibku jika sampai di rumah nanti. Nasibku, akan
terlihat dalam hitungan menit.
Sesampainya di rumah, aku
langsung masuk ke kamar mandi, menutup pintunya dan mengumpat. Tidak lama
terdengar suara langkah kaki yang datang, terdengar hingga kamar mandi. Tanpa
aba-aba apapun, ibu membuka pintu kamar mandi yang tidak berani kukunci itu,
dan langsung melayangkan satu tebasan dengan sapunya. Jeritku menembus langit-langit, membawa teriakan
itu keluar rumah. Ibu terlihat sangat kesal, aku hanya bisa pasrah dengan
amarahnya. Sambil menikmati pukulan itu, dan mengingat-ingat kembali betapa
bahagianya tadi main hujan-hujanan bersama teman. Tidak apa sakit, karena aku
bahagia. Memang benar, kadang untuk mendapatkan bahagia, kita juga harus
mendapatkan rasa sakit. Di balik amarahnya ini, terdapat rasa khawatir yang luar biasa.
Aku pun terjaga, langit kini sudah
kembali cerah, aku tersadar dengan pemberitahuan bahwa baterai handphone-ku yang
sudah melemah, yang sedari tadi menemaniku melamun dengan lagu-lagu klasik dari
ungu, S07 hingga band Padi. Aku tersenyum mensyukuri itu semua, mensyukuri
betapa menyenangkannya masa kecilku. Betapa menyenangkannya masa itu. Aku
membayangkan, “Bagaimana jika saat itu aku tidak nekat untuk bermain
hujan-hujanan?” mungkin jawabannya adalah “Mungkin sampai sekarang aku tidak
punya pengalaman seseru ini.” tutupku, lalu kembali ke dalam rumah dan
men-charge handphone-ku itu.