WHAT'S NEW?
Loading...

Plus Minus: Cemburu


+ Kamu pernah tidak cemburu pada seseorang yang bukan milikmu?
- Pernah.
+ Lalu apa yang kamu lakukan?
- Diam.
+ Kenapa diam? Bukannya kamu sedang cemburu?
- Aku tidak berani, aku takut dia malah menjauhiku, aku tidak berani melarangnya. Lagian, aku bukan siapa-siapanya juga ‘kan?
+ Ya, tapi setidaknya kamu harus melakukan sesuatu.
- Kamu berbicara cemburu seolah-olah kamu sudah expert, apa jangan-jangan kamu yang sedang merasakan cemburu?
+ Haha… kamu cepat juga, ya, mengalihkan semuanya.
- Iya, soalnya kamu yang tiba-tiba bertanya begitu. Biasanya, justru yang seperti itulah yang sedang merasakannya.
+ Iya, aku baru saja cemburu.
- Lalu, apa yang kamu lakukan?
+ Jawabannya, sama seperti yang kamu lakukan.
- Diam? Bukankah dari tadi kamu menyuruhku untuk melakukan sesuatu?
+ Saat aku menyuruhmu tadi, sebenarnya secara tidak langsung aku menyuruh diriku sendiri untuk melakukan hal yang sama. Tapi memang, semuanya begitu sulit ya.
- Sulit, bukan berarti tidak mungkin ‘kan? Memangnya apa yang membuatmu sulit untuk melakukannya?
+ Yang membuatku cemburu adalah temanku, temanku ada yang juga menyukai orang yang kusuka, bedanya, dia lebih berani mendekatinya.
- Apakah temanmu itu mengetahui kalau kamu juga menyukai orang yang sama?
+ Tidak.
- Apakah orang yang kamu suka juga tahu, kalau kamu mencintainya?
+ Tidak juga.
- Lantas, apa yang akan kamu lakukan?
+ Entahlah. Mungkin aku harus pergi, dan melupakan semua ini.
- Jangan.
+ Kenapa memangnya?
- Apakah dengan kamu pergi, itu bisa membuatmu bahagia sedangkan rasa bahagiamu adalah bisa memiliki orang yang kamu sayangi?
+ Aku tidak tahu.
- Dekati dia, dan bilang jika kamu menyukainya.
+ Tidak mau, aku tidak berani, aku juga takut dia tidak menyukaiku.
- Ucapkan saja, jika tidak segera diucapkan, mau sampai kapan kamu tidak tahu jika dia menyukaimu atau tidak ‘kan?
+ Aku justru takut akan jawabannya.
- Cinta itu sederhana, sesederhana ucapan “Aku sayang kamu”, sudah. Namun, kadang kitanya saja yang selalu membuatnya semakin rumit.
+ Terserah dirimu saja.
- Baiklah, aku pergi dulu.
+ Mau kemana?
- Sama seperti dirimu, di saat aku berbicara dari tadi, secara tidak langsung juga aku sedang meyankinkan diriku sendiri untuk melakukan apa yang aku ucapkan.
+ Lalu?
- Aku akan bilang padanya, bahwa aku mencintainya. Sangat. Sangat mencintainya. 💓

Kepala Dua

Ulangtahun tahun kemarin adalah salah satu ulangtahun paling sedih selama gue hidup. Karena ketika kita ulangtahun dan orang-orang yang kita pengenin untuk ngucapin langsung ada di samping kita malah nggak ada, kita bisa kepikiran seharian. Makanya, gue suka salut sama orang yang merantau, jauh dari orangtua, jauh dari keluarga. Kalau lagi sakit, lagi ulangtahun, atau situasi apapun yang membutuhkan orangtua di sampingnya dan malah nggak ada, bisa bikin patah hati seharian.
Tapi itu tahun lalu gue ultah tanpa nyokap, yang sekarang mah alhamdulillah lengkap.
Ehehe.
Saat kita ulangtahun, kita pasti akan secara otomatis menggolongkan atau mengharapkan dua macam teman: 
1) Teman yang harus tau tanggal ulangtahun kita, 
2) Teman yang jangan sampai tau sama sekali kalau kita ulangtahun.
Yang harus tau itu biasanya adalah orang-orang terdekat kita, bisa aja sahabat, saudara, atau bahkan gebetan. Yang mana ketika kita ulangtahun, kita berharap banget bisa diucapin sama mereka, dikasih kado atau yang lebih bagus lagi di-surprise-in sama mereka. Kita bakalan dibawa ke suatu tempat, lalu di tempat itu ternyata udah didekorasi dengan lilin-lilin di setiap sudut ruangan, balon-balon udah ngegantung sebagai hiasan, dan kue ulangtahun yang super besar yang dilengkapi tulisan ucapan ulangtahun kepada kita (Oke, kayaknya gue udah kebanyakan nonton sinetron deh).
Dan, Yang-nggak-harus-tau ini adalah tipe-tipe teman yang tau ketika ada temannya ulangtahun bukannya ngasih ucapan doa ataupun kado, malah minta ditraktir makan, udah gitu kadang mintanya di tempat yang mahal. Setahu gue, dari jaman dahulu kala itu seharusnya yang ulangtahun itu yang ditraktir terus dikasih kado bukan malah sebaliknya. Kenapa sekarang jadi terbalik begini? Kenapa?! Siapa yang pertama kali memulainya?!
Tapi, gue ulangtahun tanpa pacar mah udah biasa, hati gue udah kebal, nggak ada surprise-surprise-an ala-ala di infotaimen-infotaiment yang ngebangunin artisnya subuh-subuh, terus bawa-bawa semprotan busa gitu yang bakalan disemprotin ke muka si artisnya, nggak apa-apa. Sekarang udah saatnya mikir ke arah lebih jauh, sekarang ini gue udah resmi menjadi kepala dua, alias usia sudah menginjak umur 20 tahun. Umur 20 tahun itu udah bukan waktunya main-main, bercandaan dalam menggapai mimpi. Umur 20 tahun ke atas udah seharusnya bisa menjadi lebih dewasa, lebih bijak dan santun dalam menanggapi berbagai macam cobaan. Sebenarnya sampai sekarang gue masih belum menyangka umur gue udah 20, perasaan baru aja kemarin gue lulus SD, terus dibeliin gitar pertama sama bokap buat hadiah gara-gara gue dapet NIM tertinggi se-SD. Eh, sekarang udah 20 tahun aja, kayaknya nanti pas umur gue 60 tahun juga bakalan gak kerasa kayaknya ini mah. Makanya, gara-gara waktu yang nggak berasa inilah gue sempat bingung dengan apa yang harus gue lakukan dan gue ubah di umur gue yang udah cukup dewasa ini. Bahkan saking bingungnya, kemarin gue sempat nyari di google dengan keyword ini.
                                                          
                
Di umur gue yang udah kepala dua ini, alhamdulillah gue udah mendapatkan beberapa hal yang dulu pernah gue tulis di note hp gue, dan di kertas yang sampai sekarang pun masih gue selipin di dalam dompet.
Kalimat yang terakhir seram juga ya..

Gue menyebut ini adalah Dream note.
              
             Di umur yang baru menginjak 20 tahun ini, alhamdulillah gue udah bisa mencapai beberapa target yang gue bikin sendiri waktu SMA, yang juga catatannya masih tersimpan rapih, tapi yang ini  ada di note smartphone gue. Yang gue coret berarti udah gue dapet.



         Waktu SMA dulu, gue sangat amat ngiler dengan motor vixion yang dibawa sama teman gue ke sekolah. Kayaknya gagah aja gitu, body-nya pun gue suka, sampai pernah nyeletuk sendiri di dalam hati “Kalau suatu saat nanti gue beli motor, gue bakalan beli motor Vixion”. Dan sekarang Alhamdulillah, motor idaman gue itu pun sekarang tercapai tanpa sepeser pun campur tangan orangtua. Gue boleh sedikit berbangga, ada satu target yang bisa gue coret sebelum dead line-nya tiba, karena gue ngasih waktunya sampai tahun 2018.

         Bahkan sampai detik ini pun, gue bayar kuliah belum minta sepeser pun dari mereka, semoga aja sampai wisuda nanti, gue mampu untuk membayar semuanya sendiri. Gue pengen tiba-tiba suatu hari nanti, gue bilang ke nyokap gue, “Ayo, Mah, ke Kampus”
             Terus dijawab “Mau ngapain?”
             “Wisudaan lah kita.” Gue jawab dengan nada santai, udah kayak mengajak dia ke tempat bakso langganan.

            Dengan orangtua yang nggak pernah mikir apa-apa, nggak tau apa-apa, tiba-tiba diajak dateng ke acara wisudaan anaknya, gimana nggak meleleh coba hati orangtua?


            Gue bikin dream note ini gara-gara awalnya disuruh sama guru SMK gue, guru pelajaran produktif, dialah yang cukup berjasa mengenalkan gue dengan komputer sedikit lebih jauh. Namanya Pak Budi. Kami sekelas disuruh bikin dream note masing-masing, disuruh menuliskan mimpi-mimpi kami, tentang target apa aja yang harus kami capai suatu saat nanti, dan gak lama dari itu gue baca tulisan dari salah satu blogger sekaligus penulis favorit gue, bang Alitt Susanto nulis tentang dream note yang bagus banget dan sangat menginspirasi -> di sini. Semenjak saat itu lah gue bikin dream note gue sendiri. 

Kita hidup di dunia ini itu ibarat kita lagi berkendara dan pengen menuju suatu tempat. Kita harus tahu, tempat apa yang akan kita tuju, supaya nggak menghabis-habiskan waktu, tenaga, dan bensin secara cuma-cuma. Begitu juga dengan manusia, harus punya tempat untuk dia tuju suatu saat nanti, biar dia bisa ke tempat itu dan nggak muter-muter nggak jelas dan nggak ada tujuan yang hanya bikin waktu habis, tenaga udah nggak ada dan umur keburu tua. 

"Jangan pernah membunuh mimpi, karena mimpi itu gak akan bisa mati. Dia hanya pingsan dan akan bangun kembali saat kita tua nanti, tapi dalam bentuk penyesalan" -Pandji Pragiwaksono.

Bentar, bentar, ini kan tulisan tentang ulangtahun gue, kenapa jadi ke mimpi-mimpi segala sih?! #BiarinAh #BodoAmat

Ebi: Surat Cinta Untuk Surti



Ebi adalah sahabat yang gue kenal dari pertama kali masuk kampus, dan dia sangat menyukai Surti, teman sekelasnya. Tapi Ebi sangat takut untuk mengungkapkannya. Kami bertiga adalah teman sekelas. Sebagai sahabat yang baik, gue selalu mencari cara bagaimana mereka bisa jadian. Karena setiap ketemu, mereka layaknya orang yang saling nggak kenal, tidak pernah mengobrol, bahkan duduk berdekatan pun jarang. Ebi hanya berani menyapa Surti lewat facebook.
Suatu hari, gue lagi makan di warteg dekat kampus, gue dan Ebi makan sehabis jam matakuliah selesai. Dengan tanpa aba-aba, gue langsung menembakkan pertanyaan ke Ebi yang lagi makan.
“Lo kalau suka sama si Surti, kenapa nggak diungkapin aja sih?” Kata gue.
“Uhuuk… uhuuk...” sontak Ebi kaget, terbatuk-batuk.
“Yang namanya jodoh kan emang gak ada yang tahu ya, siapa tau, si Surti itu adalah jodoh lo, dan lo mungkin bakalan bisa kehilangan dia kalau lo enggak segera nembak dia.” Kata gue sambil mengunyah gorengan tahu yang gue pegang.
Ebi diam, sambil mengernyitkan dahinya. Muka dia memerah.
“Jawab dong, jangan diem aja, kita ini kan udah lama temen…”
“Diem dulu! Gue lagi keselek, monyet!” kata Ebi, menyerobot omongan gue.
“Oh, maap, maap, ngomong dong! Minum dulu, nih.” kata gue sambil memberi air.
Ebi meminumnya.
“Lagian, tiba-tiba lo main nanya begituan aja, ya gue kaget lah.” Ebi masih kesal, “Sebenarnya gue itu pengen banget, Pan, buat ngungkapinnya, tapi gue nggak berani.” Lanjutnya.
“Gak berani? Terus lu mau terus-terusan ngobrol dari pesbuk doang, gitu? Mau sampai kapan? Mau sampai lulus, terus akhirnya dia jadiannya sama gue? Gitu?” kata gue sambil memotong ayam goreng di piring dengan kesal sekaligus bercanda.
“Ya janganlah! Tapi guenya juga nggak berani. Ya, mau gimana lagi?”
“Mau dekat tapi enggak mau ngedekatin. Terserah lo aja lah. Pusing gue.” Tutup gue meninggalkan Ebi sendiri.
“Pan, mau kemana?” Ebi teriak ke gue yang udah ada di luar pintu.
“Mau balik. Pusing gue ngehadepin orang kayak elo.”
“Balik sih balik aja, tapi elo belum bayar makanannya, bego!"
“Oh, iya!” gue pun langsung masuk lagi dan membayarnya.

Ebi sangat menyukai Surti, gue selalu memperhatikan Ebi yang suka asik sendiri main hp kalau udah chatinggan sama Surti. Sering ketawa-ketawa sendiri. Ada hal yang menurut gue wajar kalau dia minder untuk ngungkapinnya ke Surti, seorang Ebi yang bahkan kalau mukanya disamain sama panci pun, pancinya bakal minder karena kalah jelek. Sedangkan Surti adalah permaisuri di kelas, bahkan gue pikir bisa juga permaisuri di angkatan kami. Kepintarannya, wajahnya yang khas ala blasteran Indonesia-Arab, serta jilbab yang mengikuti trend menjadi identitasnya sehari-hari. Bisa bikin mahasiswa-mahasiswa kampus terbelalak matanya ketika habis melihatnya.

Sebagai sahabat yang baik, gue harus bisa mewujudkan mimpi teman gue, gue harus membantunya sampai titik darah penghabisan, misi gue adalah bisa mempersatukan mereka.

Bentar-bentar, gue mau ngencengin iket kepala dulu...

***

Di sebuah kelas yang masih sepi dengan dosen yang belum datang juga, jam menunjukkan pukul 10 pagi. Gue memperhatikan Ebi yang lagi-lagi hanya memperhatikan Surti dari bangku paling belakang kelas, dia mengamati gerak-gerik Surti dengan seksama. Sangat menghayati.
“Gue ada ide biar lo bisa dapetin Surti, tanpa harus ngomong ke dia langsung!” kata gue setelah menghampirinya.
“Gimana tuh, Pan?!” Kata Ebi semangat, pandangannya kepada Surti menjadi buyar seketika. Bola matanya menyorot ke mata gue. Mata kami bertemu.      
“Cewek itu, paling suka dikasih kata-kata romantis, digombalin, dengan begitu, besoknya dia bakalan suka sama lo.”
“Terus?” tanya Ebi, sorot matanya makin mendalam.
“Lo harus bikin surat cinta buat dia!”
Ebi diam sejenak, menundukkan kepala, lalu berkata. “Tapi gue gak bisa nulis, Pan,” keluhnya.
“Gak ada orang yang nggak bisa nulis, tulis aja apa yang lo rasain sama dia, buat sejujur mungkin, tapi bedanya, dikemas lebih romantis sedikit. Kayak ditambah majas metafora gitu. Terus tinggal lo selipin deh di tasnya dia. Pas dia baca, besoknya dia bakalan langsung suka sama lo! Percaya sama gue.”
“Ok deh, nanti malem gue coba tulis surat buat dia.”

***

Seminggu kemudian. Di warung depan kampus.

“Gimana? Lo udah dapet tanda-tanda dia suka sama lo belum?” Tanya gue.
“Bukannya jadi suka, kayaknya dia malah lebih menjauh deh dari gue.”
“Lah, kok bisa? Emang lo kemarin nulis apaan?” Sontak gue kaget.
“Ya ituu, tulisan-tulisan romantis yang kayak elo bilang,”
“Iya, kayak gimana tulisannya?”
            “Gue tulis, ‘Surti… setiap aku melihatmu, ingin kutembakkan panah cintaku tepat di jantungmu. Kan kuambil pisau hati ini, agar aku bisa membedah isi hatimu. Oh Surti… bolehkah aku mendekatimu, kuingin kamu menyayat jantungku, dan kamu bisa melihat, ada sebuah nama yang terlukis indah di sana. Dia adalah namamu…’ gitu.”

Gue bengong sebentar, menghayati apa yang ditulis sama Ebi.
“Gimana kalau gue sekarang ngambil piso, terus gue sobek jantung lo beneran?” kata gue kesal.
“Lah, kok gitu?”
“Ya pantesan aja Surti makin menjauh, itu mah bukannya Surti suka sama elo, tapi malah bikin lo disangka psikopat, bego! Lo ngelihat tulisannya dari mana sih?”
“Dari film favorit gue. Soalnya ceritanya sama persis kayak gue, tentang cowok pendiam yang nggak berani mengungkapkan cintanya dan dia berhasil jadian. Ya udah gue ikutin aja. Walaupun di ending-nya,” Ebi terdiam sejenak, lalu berkata, “Si ceweknya akhirnya dibunuh, sih, sama cowoknya,”
Gue pun pergi meninggalkan Ebi sendiri.
“Mau kemana lo?” kata Ebi.
“Mau pulang! Nanti malah gue lagi yang elo bunuh.”
“Kampret!”

Rindu, Biarlah Berlalu


Menulis adalah caraku membunuh rindu.
Sebuah laptop, secangkir kopi, dan secuil akan bayang-bayangmu.
Menjadi sahabatku kali ini.
Membayangkan manisnya senyummu, dan betapa ketidak-tau-aturannya cantikmu.
Curang ya kamu, masa cantik pun bisa tidak tau aturan?
Bisa tidak kamu menguranginya sedikit saja?!

Rindu ini amat jahat.
Rindu ini amat keji.
Rindu ini berbahaya.
Membiarkannya, bisa membuat nyawaku mati rasa.

Setahuku,
Ada dua cara untuk mengobatinya; Bertemu, atau hilangkan ingatan.
Tentu saja, bertemu denganmu adalah cara yang kupilih. Tanpa ragu.
Terlalu konyol jika aku pilih yang kedua.
Aku memang bodoh, tapi aku tidak gila.
Biarlah rindu ini aku nikmati, bersamaan dengan sakitnya hati.
Biarlah rindu ini aku rasa, hingga hati ini mati akan rasa.

Rindu ini masih menunggu, menantikan jawaban dari sang putri.
“Apakah di seberang sana, tuan putri merasakan hal yang sama?” ucap seekor kodok dari dalam got yang keruh. Bajunya lusuh, wajahnya teduh, dengan hati yang tunduh.
Rindu ini masih setia berpangku tangan, menunggu akan kepastian.
Hujan rintik adalah pasangan yang pas untukku saat ini.
Ditambah dengan kopi, semuanya akan menjadi seperti 5, setelah si 4 sehat.
Sempurna.
Selembar kertas, secangkir kopi, segenggam rindu.
Bukankah semuanya terasa merdu?
Menikmati rindu, bisa mematikan rasa.
Melawan rindu, sudah tidak ada yang perlu dirasa.

Rindu, biarlah berlalu,
Didekap, digenggam, dan ditahan dengan segenap jiwa raga.
Hingga semuanya menghilang,
Dengan sekejap mata.

Asal kamu tahu,
Rutinitasku sehari-hari tidak pernah jauh dari rindu.
Kerja-kuliah-rindu.
Bangun tidur-rindu-main-rindu lagi.
Bahkan di saat aku rindu, aku masih sempat-sempatnya untuk merindu.
Entahlah, aku pun tak mengerti semuanya.
Tapi tak apa, sebab, tak semua hal harus punya jawaban.
Seperti rindu ini, biarlah hilang bersamaan dengan arus angin.
Hingga tidak ada yang tahu.
Hingga tidak ada yang bisa mengingatnya.