Masalah Pas Bukber
Puasa tahun ini gue udah beberapa kali ikut bukber, mulai
dari teman-teman pas sekolah dulu, sampai teman-teman yang masih sering ketemu
sekarang. Tapi, setiap kali bukber, selalu ketemu dengan kekurangan sama.
Yaitu: tempatnya gak ada tempat untuk shalatnya.
Setiap kali ada yang buka bersama, otomatis kan mayoritas
orangnya adalah orang muslim, wich is kita itu selain diwajibkan berpuasa, juga
diwajibkan untuk shalat. Karena puasa tanpa shalat itu ibarat mengisi ember
dengan air, tapi embernya bocor. Ya percuma. Dua-duanya adalah kewajiban, dan
dua-duanya harus baik. Makanya dua-duanya harus sama-sama dilakukan. Begitu.
Sebentar-sebentar gue benerin sarung gue melorot nih...
Oke, lanjut.
Oke, lanjut.
Contohnya pas kemarin, gue buka bersama bareng teman-teman
dari tempat kerja di daerah Cimone. Tempat dan pelayanan yang menurut gue buruk
banget, kayak nggak siap untuk menampung pelanggan yang ramai. Mungkin,
sebelum-sebelumnya, tempat makan ini itu selalu sepi pengunjung, jadi nggak
terlalu mempersiapkan semuanya. Pas begitu bulan puasa, tiba-tiba terjadi
lonjakan pengunjung yang cukup tinggi. Hasilnya, mereka malah kayak anak SD
yang tiba-tiba dikasih ulangan soal buat anak SMA. Jadi kelabakan. Pelayanan
mereka itu lambat banget, dari gue datang jam 17.30, sampai udah mau jam 19.00,
makanan belum juga semuanya kebagian. Dari total sekitar 40 orang yang hadir.
“Ya, wajar aja, mereka kan juga
buka puasa kali, masih untung mau dilayanin.”
Ya, gue ngerti, sangat memahami itu. Tapi, dalam pekerjaan
itu ada yang namanya profesionalitas, gak peduli bagaimanapun elo, ya lo harus
kerja sesuai dengan apa yang diminta sama “yang bayar” elo. Contohnya nih, lu
adalah seorang penyanyi, lagu-lagu lu adalah lagu bahagia semua, otomatis
pembawaan dipanggungnya juga harus bahagia, biar nyambung sama lagu yang
dibawain. Sedangkan beberapa jam sebelumnya, lu baru aja diputusin sama pacar
lu yang tinggal seminggu lagi menikah. Semua udah terlanjur terjadi, udah ada
perjanjian kerja, nggak bisa dibatalin begitu aja, akhirnya lo harus tetap
bernyanyi dengan pembawaan yang nyambung dengan lagunya. Itu baru namanya
profesional. Tapi, untuk yang ini, ya udahlah ya, gue mencoba memaklumi masalahnya.
Dan yang kedua, dari segi tempat. Tempatnya itu kayak dalam
sebuah ruangan, yang cukup luas, dan kayak hampir semua restoran-restoran pada
umumnya. Mejanya memanjang, ada beberapa meja yang disambung-sambung ke samping.
Yang bikin gue kecewa di tempat ini adalah saking panjangnya meja, akhirnya
saling berdempetan sama meja-meja pengunjung lain, bangku-bangkunya pun saling
berlawanan arah, cuma ada jarak sekitar 5 sentimeter antar bangku, jadi buat
keluar-masuk itu susah banget. Harus nyuruh teman di samping untuk keluar dulu,
baru kitanya bisa keluar. Bayangin aja, dengan jarak antar bangku yang sekecil
itu mana ada orang yang bisa masuk. Mungkin si pemilik restorannya mengira
kalau kita semua adalah amoeba, punya kemampuan untuk membelah diri. Jadi pas
ada tempat yang kita nggak muat, tinggal membelah diri aja menjadi kecil, terus
disambung lagi. Asal setelahnya jangan salah nyambungin diri aja, pas udah disambungin
ternyata ketuker sama orang lain, seorang cowok dan cewek ketuker setengah-setengah badannya. Jadi manusia setengah
jakun. Manusia yang cuma punya jakun setengah doang.
Udah begitu, berhubung makanannya lama banget datangnya, sambil menunggu akhirnya gue memutuskan buat ke mushalla dulu, gue ngikutin tag yang bertuliskan "Mushalla" yang ada di restoran. Tempatnya ada di paling pojok resotran, tepat deket parkiran. Dan pas gue tiba di tempatnya, ternyata tempatnya itu kecil banget. Sekitar 2x4 meter. Jadinya gue harus menunggu gantian yang udah shalat duluan. Pas udah gantian, gue shalat bareng ibu-ibu, dan satu temen gue, cowok. Dan untuk pertama kalinya, gue shalat sejajar sama cewek. Lalu teman gue itu nyeletuk. "Wey, shalat begini emang boleh?"
"Udah lah, adanya juga begini, Allah juga mungkin bakalan ngerti."
Akhirnya kami shalat bersejajar sama ibu-ibu.
Coba bayangin, kalau udah begini gimana cara keluar dari bangkunya coba? |