Juru Bicara Jakarta
10 Desember 2016, hari di mana berakhirnya Juru Bicara World
Tour-nya Pandji Pragiwaksono. Dan gue bangga jadi bagian yang hadir pada malam
itu. Perjuangan yang nggak sia-sia karena harus bolak-balik Tangerang - Kota
kasablanka naik motor. Punggung sakit, tangan pegel nahan kopling, pantat
panas. Tapi semuanya kebayar. Gue bangga bisa menikmati pertunjukan yang luar
biasa berkelas dan megah, yang dimulai dari operner pertama, Coki.
Gue sebagai mahasiswa, yang kalau disuruh maju pertama untuk
presentasi di depan kelas aja deg-degannya minta ampun, karena sebagai penamil
pertama, kita ngga punya pandangan gimana reaksinya orang-orang, kita ngga
punya sample pada saat kita maju nanti. Tapi, yang gue liat dari Coki berbeda, gue
yakin dia sudah matang dari segi persiapan, terbukti sebagai opener pertama dia
berhasil meyakini kursi yang diduduki penonton tidak ada yang berkurang sampai penampil
yang kedua tampil nanti. The best performance is come from the best
preparation.
Opener yang kedua, Indra Jegel. Dari pertama kali dia
datang, dia sudah berhasil membuat penonton tertawa, padahal belum mengeluarkan
satu kata pun. Hanya dengan menunjukkan mimik muka aneh yang disorot oleh
kamera ke layar, ia sudah bisa menimbulkan gelak tawa yang keras. Kesan pertama
yang gokil. Maaf, maksud saya GOKS! Bit-bit dia tentang yanglek yang paling
membuat perut gue kesakitan karena tertawa, mungkin karena kita punya keresahan
yang sama. Penampilan yang keren yang ditutup dengan bit orang melayu jika jadi
pemadam kebakaran. Pecah.
Lalu penampil utama sekaligus terakhir, sang Mr. World Tour,
sang empunya acara, Pandji Pragiwaksono. Dia datang dari sebelah kanan panggung
(kalau dari arah penonton) yang sempet bikin penonton “kaget” karena dua
penampil sebelumnya datang dari sebelah kiri, setidaknya itu sih yang gue
rasakan, kedatangannya lalu sambil diiringi dengan tepukan tangan ribuan orang
yang udah gak sabar nonton penampilan dia. Beliau berbicara panjang lebar, mulai
dari ngomongin masalah-masalah di Indonesia, masalah orang-orang dalam
berkarya, sampai ngomongin “Daun bungkus papua”. Goks. Penampilan yang benar-benar
gak kerasa, dia ngoceh sampai gak kerasa kalau 2,5 jam sudah terlewati. Malah pada
saat di bit closing, orang-orang pada bertepuk tangan, sedangkan gue malah
sempet bengong beberapa detik lalu bilang di dalam hati “Eehhhhhh.. udah
selesai???”
Setelah pertunjukkan selesai, lampu menyala-nyala, musik
dimainkan sebagai backsound, penonton berdiri menepukkan tangannya, dan bang
Pandji berselebrasi. Bulu kuduk gue mendadak berdiri semua. Gue sangat
menikmati moment itu, sampai-sampai gue kayak gak rela kalau saat itu gue harus
merekamnya, gue lebih memilih untuk menikmati atmosfirnya. Setelah ‘moment of
selebrasi’ itu selesai, Pandji menutupnya dengan epilog yang ciamik, serta
apik, yang bisa membuat orang-orang yang pesimistis bertanya-tanya dalam hati “Dia
aja bisa, kenapa gue enggak?” setidaknya, itu yang terpintas di otak gue saat
itu.
Acara di lanjutkan dengan sesi foto bersama, gue pastinya
ikutan karena gue jadikan foto itu sebagai “kenangan”. Gue kebagian antre yang
hampir paling belakang, tapi gak meruntuhkan semangat gue untuk ikutan foto bareng.
Mungkin, di luar sana gue masih bisa foto bareng sama Pandji kalau ketemu tanpa
harus ngantre panjang-panjang, tapi itu bisa juga bisa membedakan atmosfir dan
sensasi yang terjadi, jadi gue paksain mengantre untuk mendapatkannya. Pas udah
sampai di atas panggung, gue salaman dengan bang Pandji, beliau masih tampak
tersenyum seolah tidak ingin mengecewakan penontonnya sambil menutupi muka
lelahnya. Gue pun selesai foto sekitar jam 00.30, dan setelah itu gue langsung
balik ke rumah. Selesai.
Muka gue.. |
Kalau masalah #BitJuruBicaraFav, 3 bit favorit gue: masalah
tentang berkarya (bit ini yang paling ngena ke gue), Trisakti (yang orang
jualan), dan tentunya Daun bungkus papua (paling ketawa parah).
I am proud to be a part of the greatest history, I hope with
Juru Bicara, you can make Indonesian’s people be better than before, minimaly
from their mind.