WHAT'S NEW?
Loading...

Perkara Sebuah Apel



Di sebuah desa yang masih berudara sejuk, tinggallah seorang remaja bernama Deka. Seorang anak cerdas namun pendiam, ia mempunyai orang tua sebagai petani buah apel di desanya. Tahun ini Deka memasuki kelas 11 IPA dan ia hampir setiap tahun selalu masuk rangking 3 besar di sekolah. Setiap sepulang sekolah, ia pun selalu membantu ayahnya untuk berkebun hingga sore, malamnya ia selalu menghabiskan waktu untuk belajar dan sesekali ia selingi dengan bertukar pesan chat dengan pacarnya, Deby. Deka sudah sangat menyayangi Deby sedari ia pertama kali melihatnya saat ospek. Dengan seragam SMP yang sudah cukup lusuh, ia melihat Deby dihukum di lapangan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama beberapa temannya yang lain karena sudah datang terlambat.
                Selama 1 tahun ia lalui, selama itu pula Deka hanya berani memendam rasa kepada Deby. Mereka berdua sekelas, tetapi Deka tidak pernah berani menyapanya langsung, ia hanya berani menyapanya lewat chat, itu pun hanya saat ada tugas yang bisa ia tanyakan. Sebenarnya, beberapakali Deka sudah bisa mengerjakannya, tetapi demi bisa chat-an dengan Deby, akhirnya ia berpura-pura tidak bisa mengerjakannya.
                Hari demi hari Deka dan Deby semakin dekat, yang awalnya hanya chat seputar tugas sekolah, lama-lama chat mereka sering juga menyambar ke hal-hal lain. Tentang hobi, keluarganya, bahkan tentang mereka berdua. Deka merasa sangat nyambung dengan Deby jika mengajaknya berbicara. Itu adalah salah satu hal mengapa ia tidak pernah merasa bosan ketika chatting-an dengan Deby. Sampai pada akhirnya, Deka menyatakan perasaannya kepada Deby. Tanpa disangka, ternyata Deby pun sudah menyukai Deka sedari lama. Akhirnya mereka pacaran. Memang benar, ternyata sering berkomunikasi bisa menimbulkan sebuah perasaan. Itulah yang terjadi pada mereka.
                Deka dan Deby sekarang menjadi lebih intens chattingan. Tidak jarang mereka saling chat hingga jam 3 subuh. Padahal paginya harus sudah bangun lagi untuk berangkat sekolah. Saat di sekolah pun, mereka masih sering mengobrol.
                Semenjak pacaran, Deka dan Deby sering sekali pulang sekolah bareng. Menyusuri kebun-kebun teh yang berjajar, udara khas pedesaan yang juga diiringi dengan tawa dari mereka berdua. Tidak jarang pula, setiap malam minggu, seperti kebanyakan remaja lainnya, mereka jadi sering ketemu hanya untuk saling melepas rindu. Warung Mang Uci adalah tempat mereka paling sering saling menghabiskan malam minggu di sana. Sebagai anak dari petani apel, Deka sering membawa apel yang ia bawa untuk diberikan kepada Deby.
                “Deb, ini aku bawa apel buat kamu,” ucap Deka, tangannya mengayunkan sebuah kantung plastik warna hitam yang sudah ia bawa dari rumah.
                “Ngga usah, Deka, aku kenyang.” Deby menggelengkan kepalanya.
                “Ya udah kalau kenyang, kamu bawa aja nanti buat di rumah, kalo nggak buat mamah kamu aja nanti.”
                “Nggak, Deka, beneran, nggak usah,” tangan Deby mengayunkan kantung plastik itu kembali kepada Deka.
                “Oh ya udah deh,” Deka menunduk, “Aku bawa lagi aja,” pungkasnya.
Warung Mang Uci jaraknya cukup dekat dengan sekolah mereka. Saat istirahat sekolah pun, mereka berdua sama-sama selalu pergi ke sana. Menghabiskan waktu istirahat bersama, sambil ditemani oleh gorengan dan juga kadang mie rebus kesukaan mereka. Di saat mereka tidak ingin jajan, Deka sering menawarkan apel dari kebun ayahnya yang ia ambil dengan ijin untuk diberikan kepada Deby. Karena ia tau, buah itu sangat baik untuk tubuh kita. Deka ingin Deby selalu sehat dan makanannya bergizi. Namun, lagi-lagi, selama Deka memberikan Deby apel itu, selama itu pula Deby selalu menolaknya. Deby selalu menolak dengan alasan yang berbeda-beda. Kadang ia bilang sudah kenyang, kadang ia bilang tidak suka apel, kadang ia juga bilang bahwa alergi dengan apel. Deka sering kepikiran sendiri ketika sampai di rumah, mengapa Deby tidak pernah memakan apel yang sudah susah payah ia dan ayahnya tanam itu. Deka tahu, Deby hanya berbohong akan alasan-alasannya itu. Deka hanya ingin tahu apa alasan lain yang sebenarnya Deby sembunyikan. Mungkin di luar sana banyak apel-apel lain, tapi yang ini adalah apel yang ia beri ketulusan dari hasil keringatnya dan ayahnya, itu justru membuatnya kadang merasa kecewa.
                Sampai suatu hari, di suatu siang, ia melihat postingan di instagramnya si Ryan, teman sekelasnya yang juga temannya Deby, mereka sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya Deby yang lain. Di sana Deby terlihat sangat sedang bahagia. Di video yang berdurasi 45 detik itu, ia melihat bahwa Deby sedang makan apel yang entah ia dapat dari mana.
                Deka yang saat itu melihatnya merasa sangat kecewa kepada Deby, ia merasa kecewa, sedih, sekaligus marah. Berkali-kali ia sudah menawarkan sebuah apel untuk Deby, tapi sekalipun ia tidak pernah menerimanya. Di saat yang lain, Deby sedang makan buah apel dengan orang lain dengan bahagianya. Akhirnya Deka hanya bisa diam, sambil bertanya-tanya akan alasan mengapa Deby tega seperti itu.
                Jam 9 malam, Deka mengechat Deby.
                “Deb, agak aneh ya..”
                “Aneh kenapa, Deka?”
                “Lucu aja, giliran aku yang nawarin kamu apel, kamu nggak pernah sekalipun menerimanya. ”
                “Deka, itu beda..”
                “Beda gimana? Emang dasarnya kamu itu nggak mau kan kalau apel itu dari aku? Deb, tolonglah, kalau emang kamu nggak mau, kamu bilang aja nggak mau, ngga usah buat alasan ini-itu yang justru bikin kamu berbohong. Justru kalau kamu emang nggak mau, aku nggak akan nawarin ke kamu lagi. Aku kecewa, Deb.”
                “Beda, Deka... Aku cuma nggak mau ngebebanin kamu. Kalau aku terima, apel itu aku dapetin gratis, sedangkan aku bisa aja beli sendiri. Apalagi apel itu adalah apel yang bisa kamu jual dan uangnya bisa menambah uang jajan kamu, apel itu yang jadi penghasilan utama keluarga kamu. Aku nggak enak kalau memakan yang punya kamu.”
                “Kamu menolak karena kamu merasa nggak enak. Justru karena kamu menolak, itu yang bikin aku kecewa. Sama yang lain mau, sedangkan aku yang pacar kamu malah nggak mau. Kebalik.”
                “Mereka itu cuma teman aku, Deka... beda. Kamu itu pacar aku. Aku nggak nyusahin kamu.”
                “Lucu, ya... justru yang jadi teman yang bisa dapat lebih. Terus gimana biar aku bisa kayak yang lain juga di mata kamu? Apa kita jadi temenan aja biar bisa sama kayak yang lain?”
                “Deka, kamu mau putusin aku?”
                “Nggak mau.”
                “Itu kamu bilangnya pengen temenan aja.”
                “Abis kalo jadi temen malah bisa dapetin apa yang ngga bisa aku dapetin.”
                “Deka, jujur, aku sayang sama kamu. Aku ngga mau putus gara-gara ini. Maaf kalau udah bikin Deka kecewa, maaf.”
                “Aku cuma heran aja sama kamu selama ini, makanya aku omongin. Aku nggak mau kita putus, aku sayang sama kamu.”
                Di balik rantaian chat itu, jam sudah menunjukkan pukul 3 subuh. Dengan hawa dingin dan teramat sepi dari luar, akhirnya mereka menyudahkan hari yang menyedihkan itu. Ada sebuah chat yang selesai, ada bantal yang basah terurai.
                Malam itu, Deka dan Deby tidak putus, justru setelahnya mereka menjadi semakin dekat dan bisa saling mengerti satu sama lain. Mereka sama-sama sekolah hingga akhirnya lulus SMA dengan nilai yang sangat baik dari masing-masing dan ingin melanjutkan ke universitas yang mereka berdua impikan sejak dulu.