WHAT'S NEW?
Loading...

Repost

Kemarin gue nemuin postingan di facebook yang bagus banget, gue bacain sampai habis. Gak terasa 5 menit sudah berlalu. Mungkin karena relate juga kali ya sama guenya. 😂 Untuk lebih lengkapnya, gue repost di sini ya, cuma agak lebih gue rapihin dikit..

Sumber status: Nadila El-Salam





Semakin kamu berumur, pasti kamu semakin sadar. 
Ternyata benar. 
Bukan masalah 'ke mananya'. 
Tapi, 'sama siapanya'. 

Saya ngga masalah, entah itu makan potongan daging berdiameter 10cm dengan harga 120ribu per porsi
atau sekedar makan pecel lele ditemani genjrengan gitar para pengamen di perempatan lampu merah sebelum taman kota
asal saya bisa denger dia bilang
'diabisin ya makanannya.. '

Saya nggak masalah, minum kopi di balkon cafe lantai 5 di mall tengah kota
atau cuma minum minuman panas dengan pemandangan jalan raya ditambah tukang nasi goreng beserta pelanggan pelanggannya yang antri
supaya bisa denger cerita dia seharian kerja, tapi masih bela-belain jemput saya biar bisa nyeruput kopi sama saya.

mau roda empat,
atau cuma dua,
sama saja.
seru emang, ngerecokin dia dari kursi samping sambil cium bahu kirinya pas dia lagi sibuk perhatiin jalan,
tapi kamu udah pernah belom ngerasain liat2an dari spion kiri pas lagi becanda sambil meluk dr belakang?
atau dengkul dielus pas lagi lampu merah?
nah itu.

jadi ya kalau bisa, jangan terlalu menuntut ini itu
kalo emang dia udah bisa ngasih waktunya buat kamu, ya bersyukur
soalnya uang bisa dicari
tapi waktu gak bisa kembali.
saya mah gapapa nggak bisa ngeliat aksinya mas Channing Tatum di bioskop, asal saya bisa ngeliat dia ketawa karna becandaan saya
saya nggak masalah kok duduk di ruang tamu dengan bekel teh gelas, dengerin dia ngeluh capek pengen tidur tapi malah nemuin saya karna kangen saya.

karna buat saya,
bukan masalah ke mananya
tapi selama sama dia, saya udah bahagia
dia aja itu udah cukup.
seribu kali lipat cukup. 


— Anyil

Untukmu


Untukmu yang semakin hari semakin kucinta
Tidak ada sehari pun aku tidak memikirkanmu
Kabarmu adalah obat dari kekhawatiranku
Senyummu adalah obat kecemasanku
Bertemu denganmu adalah obat dari semuanya

Untukmu yang semakin hari semakin kusayang
Jaga dirimu selalu
Semoga sehat selalu menyertai kesibukanmu
Aku belum bisa berbuat banyak
Setidaknya, untuk saat ini
Aku hanya bisa memikirkanmu,
Aku tidak bisa selalu di sampingmu

Percayalah, sayang
Di setiap hembusan nafasku,
Selalu diselingi nama indahmu

Maaf, jika aku selalu membuatmu sedih
Maaf, jika aku selalu membuatmu khawatir
Maaf, jika aku belum bisa membahagiakanmu

Namun, satu hal yang perlu kamu tahu
Aku sedang berusaha menjadi yang terbaik untukmu
Aku ingin terus berusaha
Terus dan terus, sampai aku merasa pantas
Aku ingin, kamu juga membantuku mewujudkannya
Love you.

Perkara Sebuah Apel



Di sebuah desa yang masih berudara sejuk, tinggallah seorang remaja bernama Deka. Seorang anak cerdas namun pendiam, ia mempunyai orang tua sebagai petani buah apel di desanya. Tahun ini Deka memasuki kelas 11 IPA dan ia hampir setiap tahun selalu masuk rangking 3 besar di sekolah. Setiap sepulang sekolah, ia pun selalu membantu ayahnya untuk berkebun hingga sore, malamnya ia selalu menghabiskan waktu untuk belajar dan sesekali ia selingi dengan bertukar pesan chat dengan pacarnya, Deby. Deka sudah sangat menyayangi Deby sedari ia pertama kali melihatnya saat ospek. Dengan seragam SMP yang sudah cukup lusuh, ia melihat Deby dihukum di lapangan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama beberapa temannya yang lain karena sudah datang terlambat.
                Selama 1 tahun ia lalui, selama itu pula Deka hanya berani memendam rasa kepada Deby. Mereka berdua sekelas, tetapi Deka tidak pernah berani menyapanya langsung, ia hanya berani menyapanya lewat chat, itu pun hanya saat ada tugas yang bisa ia tanyakan. Sebenarnya, beberapakali Deka sudah bisa mengerjakannya, tetapi demi bisa chat-an dengan Deby, akhirnya ia berpura-pura tidak bisa mengerjakannya.
                Hari demi hari Deka dan Deby semakin dekat, yang awalnya hanya chat seputar tugas sekolah, lama-lama chat mereka sering juga menyambar ke hal-hal lain. Tentang hobi, keluarganya, bahkan tentang mereka berdua. Deka merasa sangat nyambung dengan Deby jika mengajaknya berbicara. Itu adalah salah satu hal mengapa ia tidak pernah merasa bosan ketika chatting-an dengan Deby. Sampai pada akhirnya, Deka menyatakan perasaannya kepada Deby. Tanpa disangka, ternyata Deby pun sudah menyukai Deka sedari lama. Akhirnya mereka pacaran. Memang benar, ternyata sering berkomunikasi bisa menimbulkan sebuah perasaan. Itulah yang terjadi pada mereka.
                Deka dan Deby sekarang menjadi lebih intens chattingan. Tidak jarang mereka saling chat hingga jam 3 subuh. Padahal paginya harus sudah bangun lagi untuk berangkat sekolah. Saat di sekolah pun, mereka masih sering mengobrol.
                Semenjak pacaran, Deka dan Deby sering sekali pulang sekolah bareng. Menyusuri kebun-kebun teh yang berjajar, udara khas pedesaan yang juga diiringi dengan tawa dari mereka berdua. Tidak jarang pula, setiap malam minggu, seperti kebanyakan remaja lainnya, mereka jadi sering ketemu hanya untuk saling melepas rindu. Warung Mang Uci adalah tempat mereka paling sering saling menghabiskan malam minggu di sana. Sebagai anak dari petani apel, Deka sering membawa apel yang ia bawa untuk diberikan kepada Deby.
                “Deb, ini aku bawa apel buat kamu,” ucap Deka, tangannya mengayunkan sebuah kantung plastik warna hitam yang sudah ia bawa dari rumah.
                “Ngga usah, Deka, aku kenyang.” Deby menggelengkan kepalanya.
                “Ya udah kalau kenyang, kamu bawa aja nanti buat di rumah, kalo nggak buat mamah kamu aja nanti.”
                “Nggak, Deka, beneran, nggak usah,” tangan Deby mengayunkan kantung plastik itu kembali kepada Deka.
                “Oh ya udah deh,” Deka menunduk, “Aku bawa lagi aja,” pungkasnya.
Warung Mang Uci jaraknya cukup dekat dengan sekolah mereka. Saat istirahat sekolah pun, mereka berdua sama-sama selalu pergi ke sana. Menghabiskan waktu istirahat bersama, sambil ditemani oleh gorengan dan juga kadang mie rebus kesukaan mereka. Di saat mereka tidak ingin jajan, Deka sering menawarkan apel dari kebun ayahnya yang ia ambil dengan ijin untuk diberikan kepada Deby. Karena ia tau, buah itu sangat baik untuk tubuh kita. Deka ingin Deby selalu sehat dan makanannya bergizi. Namun, lagi-lagi, selama Deka memberikan Deby apel itu, selama itu pula Deby selalu menolaknya. Deby selalu menolak dengan alasan yang berbeda-beda. Kadang ia bilang sudah kenyang, kadang ia bilang tidak suka apel, kadang ia juga bilang bahwa alergi dengan apel. Deka sering kepikiran sendiri ketika sampai di rumah, mengapa Deby tidak pernah memakan apel yang sudah susah payah ia dan ayahnya tanam itu. Deka tahu, Deby hanya berbohong akan alasan-alasannya itu. Deka hanya ingin tahu apa alasan lain yang sebenarnya Deby sembunyikan. Mungkin di luar sana banyak apel-apel lain, tapi yang ini adalah apel yang ia beri ketulusan dari hasil keringatnya dan ayahnya, itu justru membuatnya kadang merasa kecewa.
                Sampai suatu hari, di suatu siang, ia melihat postingan di instagramnya si Ryan, teman sekelasnya yang juga temannya Deby, mereka sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya Deby yang lain. Di sana Deby terlihat sangat sedang bahagia. Di video yang berdurasi 45 detik itu, ia melihat bahwa Deby sedang makan apel yang entah ia dapat dari mana.
                Deka yang saat itu melihatnya merasa sangat kecewa kepada Deby, ia merasa kecewa, sedih, sekaligus marah. Berkali-kali ia sudah menawarkan sebuah apel untuk Deby, tapi sekalipun ia tidak pernah menerimanya. Di saat yang lain, Deby sedang makan buah apel dengan orang lain dengan bahagianya. Akhirnya Deka hanya bisa diam, sambil bertanya-tanya akan alasan mengapa Deby tega seperti itu.
                Jam 9 malam, Deka mengechat Deby.
                “Deb, agak aneh ya..”
                “Aneh kenapa, Deka?”
                “Lucu aja, giliran aku yang nawarin kamu apel, kamu nggak pernah sekalipun menerimanya. ”
                “Deka, itu beda..”
                “Beda gimana? Emang dasarnya kamu itu nggak mau kan kalau apel itu dari aku? Deb, tolonglah, kalau emang kamu nggak mau, kamu bilang aja nggak mau, ngga usah buat alasan ini-itu yang justru bikin kamu berbohong. Justru kalau kamu emang nggak mau, aku nggak akan nawarin ke kamu lagi. Aku kecewa, Deb.”
                “Beda, Deka... Aku cuma nggak mau ngebebanin kamu. Kalau aku terima, apel itu aku dapetin gratis, sedangkan aku bisa aja beli sendiri. Apalagi apel itu adalah apel yang bisa kamu jual dan uangnya bisa menambah uang jajan kamu, apel itu yang jadi penghasilan utama keluarga kamu. Aku nggak enak kalau memakan yang punya kamu.”
                “Kamu menolak karena kamu merasa nggak enak. Justru karena kamu menolak, itu yang bikin aku kecewa. Sama yang lain mau, sedangkan aku yang pacar kamu malah nggak mau. Kebalik.”
                “Mereka itu cuma teman aku, Deka... beda. Kamu itu pacar aku. Aku nggak nyusahin kamu.”
                “Lucu, ya... justru yang jadi teman yang bisa dapat lebih. Terus gimana biar aku bisa kayak yang lain juga di mata kamu? Apa kita jadi temenan aja biar bisa sama kayak yang lain?”
                “Deka, kamu mau putusin aku?”
                “Nggak mau.”
                “Itu kamu bilangnya pengen temenan aja.”
                “Abis kalo jadi temen malah bisa dapetin apa yang ngga bisa aku dapetin.”
                “Deka, jujur, aku sayang sama kamu. Aku ngga mau putus gara-gara ini. Maaf kalau udah bikin Deka kecewa, maaf.”
                “Aku cuma heran aja sama kamu selama ini, makanya aku omongin. Aku nggak mau kita putus, aku sayang sama kamu.”
                Di balik rantaian chat itu, jam sudah menunjukkan pukul 3 subuh. Dengan hawa dingin dan teramat sepi dari luar, akhirnya mereka menyudahkan hari yang menyedihkan itu. Ada sebuah chat yang selesai, ada bantal yang basah terurai.
                Malam itu, Deka dan Deby tidak putus, justru setelahnya mereka menjadi semakin dekat dan bisa saling mengerti satu sama lain. Mereka sama-sama sekolah hingga akhirnya lulus SMA dengan nilai yang sangat baik dari masing-masing dan ingin melanjutkan ke universitas yang mereka berdua impikan sejak dulu.



PERCAYA SAJA


“Lo udah berapa tahun ngejomblo, Ndri?” tanya gue mencoba membuka percakapan.
“Udah sekitar 3 tahunan, Pan,” balasnya.
“Buset, itu kalau bayi, 3 tahun itu lagi lucu-lucunya pasti.”
“Kampreet…”
Gue tertawa. Andri pun mengikuti.

Andri adalah teman kerja gue yang paling doyan ngomongin tentang relationship. Setiap gue ngrobrol sama dia pasti nggak bakalan jauh-jauh dari hal itu, bahkan kita sering berdiskusi tentang bagaimana cara memperlakukan perempuan dengan baik, dan tak jarang pula kami berdebat. Tidak apa, kita punya niat yang sama-sama baik, hanya saja dengan cara yang berbeda. 

“Lo terakhir putus itu gara-gara apa?” tanya gue.
“Yah, udah saling merasa nggak cocok aja. Sama-sama pengen putus, ya udah putus.”
“Oohh…”
“Mantan gue yang terakhir itu ganjen sih, Pan. Sering main sama cowok terus, temennya banyak banget yang cowok. Apalagi gue orangnya cemburuan, udah dilarang-larang tapi masih aja. Ya udahlah, daripada capek hati.”
“Percaya aja sih, Ndri… Kalau dia emang sayang, nggak bakalan macam-macam,” ucap gue yang mulai kerasukan hantu orang puitis.
“Gue itu nggak bisa kayak gitu, Pan. Gue kalau udah sayang sama orang, gue pengennya orang itu nggak main-main sama cowok lagi, nggak yang aneh-aneh. Gue itu pencemburu banget.”
“Lu itu posesif, dong?” Andri pun diam. “Ndri, orang kalau terus-terusan dikekang, lama-lama dia bakalan cepet bosen. Dia bakal nganggep kalau dia itu nggak bebas. Dan menganggap kalau lu itu adalah masalahnya, dan hubungannya nggak bakalan lama," sambung gue.
“Namanya juga sayang, Pan. Gue nggak mau kehilangan, gue nggak mau gara-gara dia keseringan main sama cowok, akhirnya dia selingkuh dari gue. Sebagai cowok, gue ngertilah apa yang ada di pikiran cowok-cowok itu ke cewek gue. Kalau udah terlanjur selingkuh, terus gimana?”
“Putusin aja. Gak usah pakai pikir lagi,” kata gue cepat.
“Ya, makanya, gue ngelarang itu biar dia nggak selingkuh. Gue mencoba mencegah sebelum terjadi.”
“Ndri, cemburu itu bolehlah sesekali mah. Asal jangan berlebihan juga. Kalau apa-apa dicemburuin, apa-apa dipikirin yang ada malah capek sendiri ngejalaninnya.”
“Nggak bisa, Pan… Gue itu udah dari lahir kayaknya punya sifat cemburuan, udah mendarah daging. Makanya susah buat dijalanin.”
“Ya udah deh, terserah lu aja.”
Hening 5 menit. Suasananya mulai canggung.
“Lu sendiri, ada nggak orang yang lagi lu sayang, Pan?” kata Andri yang mencoba memecah suasana.
“Ada,” jawab gue.
“Terus lo suka cemburu sama dia?”
“Sering.”
“Lah, itu lu sendiri malah cemburuan.”
“Cemburu itu wajar sih, tapi cara orang menanggapinya yang berbeda-beda. Gue sering merasa cemburu, tapi gue nggak pernah ngelarang dia main sama siapa pun. Gue percaya sama dia.”
“Emang lu nggak takut ditikung?”
“Nah, kembali ke kata gue tadi, ‘Percaya aja.’ Kalau emang dia sayang sama gue, dia bakalan tau tempat pulangnya. Dengan begitu, daripada gue sibuk-sibuk ngehancurin rumah orang, mendingan gue fokus ngebagusin rumah sendiri, biar dia bisa terus ‘pulang’”
“Kalau pun udah begitu, lu malah ditikung gimana?”
“Itu artinya, dianya udah ngekhianatin apa yang udah gue percaya. Gue kalau udah sayang, gue kasih kepercayaan gue 100%. Kalau udah dikhianatin, kepercayaan itu otomatis hilang semua. Berarti gue harus cari yang bisa gue percaya lagi.”
“Kalau dia digodain sama cowok lain di depan lu, gimana?”
“Tergantung, dia cantik, kalau ada yang ngegodain mah wajar, tapi kalau udah termasuk ngegodainnya parah, mungkin gue bakalan tegur dulu si cowok itu, untuk jangan begitu. Dan nyuruh dia jangan ngelakuinnya lagi. Mungkin lebih ke reflek manusiawi kali, ya?”
“Yah, ribet kayaknya teori elu…”
“Yang penting nggak bikin capek hati sendiri. Haha.”
Nggak terasa obrolan itu sudah setengah jam berlalu. Akhirnya kami kembali fokus dengan kerjaan kami masing-masing.

***
Beberapa hari kemudian.

“Ndri, ada anak baru tuh, cewek, cantik lagi!” kata gue mencoba merayu Andri.
Di tempat kerja gue ada anak baru yang menurut gue lumayan cantik, dari tampangnya masih kelihatan polos banget. Fresh graduate, dan punya lesung di pipinya. Gue sempat nanya tempat tinggalnya, ternyata dia tinggal di Balaraja, dan dia setiap hari pulang-pergi naik angkot dari Balaraja-Jatiuwung. Gue kaget. Gue yang tinggal di Cikupa aja sering males karena kejauhan, padahal cuma sekitar 13Km, ini dia yang dari Balaraja ke Jatiuwung dengan jarak yang sekitaran 25 Km tetep ngelakuin. Naik angkot lagi. Apalagi kalau daerah Bitung udah macet-macetnya, rasanya gue pengen turun dari motor, terus teriak sekenceng-kencengnya, “LO SEMUA PADA NGAPAIN SIH? MACET-MACETIN JALAN AJA! BUBAR SANA!!”. Tapi niat itu gue urungkan demi menghindari badan gue pada memar gara-gara digebukin supir angkot.
“Ah, males, Pan. Nggak mau gue punya pacar yang cantik, malah capek hati sendiri. Yang cantik pasti bakalan banyak juga yang deketin, nanti malah cemburu melulu gue.”
“Ya udah lu pacaran sama bencong lampu merah aja. Jelek-jelek tuh.”
“Enggak yang begitu juga. Yang biasa-biasa aja. Yang anaknya kalem, jarang dekat-dekat sama cowok. Jadi guenya nggak cemburu-cemburu melulu.”
“Iya deh, terserah elu aja. Gue doain elu dapet pasangan yang biasa. Sangat amat biasa.” Kata gue, lalu pergi meninggalkannya.

Gara-gara ML


Sekarang lagi zaman-zamannya permainan game Mobile Legend di Indonesia, hampir setiap orang pasti pernah atau sedang main ini. Berbeda dengan gue, yang nggak pernah main sama sekali dan bahkan gue nggak mau tau gimana cara mainnya. Karena gue nggak mau kecanduan lagi. Kebodohan kecanduan game itu udah cukup gue rasain sekali aja, waktu lagi ngetrendnya game COC di hp beberapa tahun yang lalu. Pas gue main COC, gue seakan-akan dimainkan oleh game, bukan gue yang mempermainkan game.


                Pernah waktu itu lagi kerja, pas di sela-sela istirahat, gue bakalan buka game COC buat ikutan attack musuh yang tinggal beberapa jam lagi bakalan habis waktu war-nya, yang kalau sampai kelewat waktu yang udah ditetapkan, gue bakalan nggak ikut war dan bakalan diomelin sama ketua war-nya. Gue pernah sampai rela berhenti dan
turun dari motor ketika lagi di jalan, sesaat gue ingat kalau gue belum attack war. Gue rela sampai nyari-nyari wi-fi cuma buat attack war, karena di rumah sinyal lagi jelek. Jadi, dalam game Mobile Legend ini, bukannya gue nggak tertarik buat ikutan mainan, tetapi gue lebih memilih buat nggak mainan daripada nanti gue kecanduan.
                Setiap gue kumpul sama teman-teman kerja, pasti cuma gue dan Eko, yang jadi dua orang yang nggak pernah nimbrung sama yang lain buat main game itu. Sepanjang ngumpul sama teman, kami berdua cuma pelanga-pelongo aja ngeliatin mereka main. Kami berdua jadi sering ngobrol, saking seringnya kami berdua doang yang ngobrol pas kumpul, lama-lama gue takut kalau dia itu sampai suka sama gue.
                “Lu nggak ikut main Mobile Legend, Ko?” tanya gue.
                “Nggak, Pan, nggak ngerti cara mainnya,” kata Eko, lalu menghisap sebatang rokok di tangannya.
                “Kalau lu udah main juga pasti bakalan ngerti kok gimana mainnya,” balas gue, lalu menghisap masker oksigen.
                “Iya, sih, tetapi gue nggak tertarik buat mainnya,” jawab Eko, tidak lama kemudian lalu menenggak kopi yang masih berasap di depannya itu."Kalau anak-anak lagi pada main di kosan aja, yang lain mah pada main ML, gue mending tidur. Enak.”
                “Iya juga, sih,” lalu gue menyesap susu kotak yang sebelumnya gue beli,  “Waktu jadi lebih bermanfaat.”
                Bahkan itu terjadi bukan hanya pada teman-teman gue, bahkan si Rizki, adik gue, juga kecanduan main Mobil Legend. Semenjak dia dibeliin handphone, ditambah lagi sekarang di rumah udah dipasang wi-fi, dia jadi main ML terus-terusan di rumah. Kadang sampai lupa makan, shalat pun suka telat, dan sering tidur malam karena main game itu. Bahkan nggak jarang juga dia marah-marah sendiri ketika dia lagi kalah main game itu.
                “Ah, bego!!” teriak Rizki dari kamar.
                “Lu kenapa, sih?!” teriak gue dari luar, sesaat setelah gue pause film yang lagi gue tonton. “Dibikin gila lu sama game!”
                Adik gue nggak menjawab. Di rumah, walaupun gue sama dia kakak-adik, tetapi gue sama dia nggak ada manis-manisnya kayak di film-film, atau kayak orang lain pada umumnya. Di mana bisa bercanda dan ketawa-ketawa, gue sama dia bercanda seadanya aja. Bahkan bisa dibilang nggak ada bercanda yang seru banget. Panggilannya yang kami pakai pun pakai kata gue-elu.
                “KOK GINI SIH? KENAPA ENDINGNYA MEREKA NGGAK NIKAH? KENAPA?!!!” tanpa gue sadari, kata-kata itu keluar dari mulut gue. Mata gue mendadak berair.
                “Nonton begituan aja nangis, dibikin gila lu sama film!” terdengar suara dari kamar.
                “Kampret!”
                Bahkan, nggak jarang pula gue mendengar keluhan-keluhan orang lain tentang Mobile legend ini dari orang-orang terdekatnya. Beberapa hari yang lalu, gue baca di twitter, ada seorang owner cafe yang terpaksa membanting handphone karyawannya yang main Mobil Legend terus sampai-sampai mengabaikan pelanggan yang menunggunya dari tadi. Hukuman itu terpaksa dia lakuin karena itu bukan pertama kalinya dia memergokinya, tetapi sebelumnya sudah pernah diperingatkan, juga diancam kalau sampai mengabaikan pelanggannya lagi, dia nggak bakalan segan buat membanting handphone-nya.
                Dengan adanya Mobile Legend ini, yang bisa bikin orang antipati sama orang-orang yang ada di sekitarnya, mungkin kedepannya perusahaan-perusahaan harus mewajibkan kepada para pelamarnya yang tidak main Mobile Legend ini sebagai salah satu persayaratan untuk bekerja di perusahaan tersebut. Kalau perlu, taruh di surat lamaran kerjanya, tepat di kolom kelebihan. Kalau perlu, pakai materai dan ditandatangani sekalian.


BERIRPINI #1: Jatuh Cinta Nggak Usah Ditunda-tunda


“Jangan pacaran dulu, nanti aja fokusin sekolah dulu.”
“Jangan jatuh cinta dulu, nanti aja fokus kerja dulu.”
“Jangan jatuh cinta dulu, banggain orangtua dulu.”

-Kata orang-orang yang jatuh cinta tapi nggak berani buat ngejalaninnya.

Jatuh cinta adalah sesuatu yang nggak bisa kita tentuin, mau jatuh cinta sama siapa, waktunya kapan, dan bagaimana caranya. Semuanya memilih dengan sendirinya. Menurut gue, kalau emang mau sayang sama seseorang, mau pacaran sama seseorang, ya udah lakuin aja, jangan hiraukan waktunya. Nggak munafik juga. Terlalu menuntut untuk melakukan ini-itu sebelum pacaran, akhirnya udah keburu tua duluan, dan akhirnya udah nggak ada yang mau lagi. Kalau pun ada yang mau, pasti adanya “Yang ada aja” alias bukan yang terbaik. Akhirnya kita cinta bukan karena kitanya mau, tapi karena tuntutan umur. Hal ini sebenarnya udah gue singgung di postingan gue yang ini sih. => Jatuhcintalah.

Kalau emang mau sayang sama seseorang, ya lakuin aja gimana cara orang itu sayang sama seseorang. Pacaran mah pacaran aja, gak usah nungguin hal-hal lain dulu. Toh, jatuh cinta itu menyenangkan kok, asalkan dengan orang yang tepat. Kalau kamu sayang sama seseorang, dan dapetnya malah lebih banyak sedihnya daripada senangnya, yang salah berarti orangnya, bukan cintanya. Perlu ganti orang itu mah. Punya orang yang disayang, yang bisa memotivasi diri, bukan cuma buat galau-galauan doang. Contohnya gue punya beberapa pengalaman sendiri soal ini.


1. Waktu kelas 6 SD, waktu itu gue pacaran. Diem lu ya, jangan kaget. Iya, gue pertama kali pacaran itu kelas 6 SD. Di saat anak-anak seumuran yang lain lagi pada berantem sama temennya karena berebutan siapa yang jadi power ranger merah, gue malah ributnya sama pacar gue. Tapi tenang aja, bukan itu yang mau gue bahas. Jadi pas kelas 6 SD itu gue dapet NEM (Nilai Ebtanas Murni) a.k.a nilai ujian nasional paling tinggi di SD gue, karena waktu itu gue itu saling bersaing sama dia buat gede-gedean nilai ujian. Jadi gue sama dia itu (dia juga kelas 6 SD), beda sekolah, tapi satu tempat les. Karena merasa termotivasi, akhirnya gue belajar dengan giat, dan hasilnya gue bisa dapet nilai yang tinggi.

2. Waktu kuliah semester 2, gue juga dapet nilai tertinggi di kelas, yang mana di kampus gue itu, kalau nilai yang paling tinggi di kelas itu bakalan dikasih keringanan alias beasiswa dari kampus yang sebenarnya juga gue nggak nyangka sama sekali kalo gue bisa dapetin ini. Pokonya waktu itu, gue cuma mencoba melakukan yang terbaik. Padahal, selama UTS dan UAS, bisa dibilang gue itu selalu ngumpulin kertas ujian yang paling terakhir. Nggak yang paling terakhir banget sih, tapi beberapa dari terakhir. Ngumpulin yang terakhir bukan karena gue mau sok-sokan nunggu yang lain selesai, tapi karena emang gue nggak bisa jawabnya. Mau nyontek pun nggak dapet. Dan setiap setelah gue keluar kelas, gue selalu merenung atas kebodohan gue itu di kelas tadi, akan jawaban yang nggak gue yakini bakalan benar. Bahkan, beberapa hari setelah UAS gue sempet gak percara diri dan mengira kalau gue itu salah jurusan. Namun, takdir berkata lain, gue malah dapat beasiswa. Gue curiga, kalau selama ini, itu semua salah ketik. Salah nama, dan yang dapet itu bukan gue. Gue malah sempat pesimis dan mengira kalau salah satu dari kedua temen gue (yang juga nilai IP-nya sama kayak gue) yang bakalan dapet. Dan asal elu tau, nilai gue bisa lompat gini juga karena salah satunya itu gue dapet motivasi dari seseorang, dia itu namany…. *sebagian text hilang*

Beberapa hari setelah UAS, gue merasa kalau gue salah jurusan


Jadi intinya, jatuh cinta itu jangan ditahan-ditahan. Biarkan aja mengalir, yang penting jangan sama orang yang salah aja. Pacaran boleh, asal tau batasannya. Selama dia bisa bikin lebih semangat, kenapa enggak? Sebagai seorang mahasiswa bodoh yang gini-gini juga pernah ngaji, gue juga udah tau kok batasnya di mana. Gak usah nunggu ini-itu dulu, karena ketika kita terlalu banyak memilih, takutnya tanpa kita sadari, kita sudah melewatkan yang terbaik.

Ebi: Nenek!



Pagi ini, gue lebih cepat bertemu dengan matahari. Gue ada janji mau main ke rumah Ebi setelah semalem janjian. Ini adalah pertama kalinya gue main ke rumah Ebi setelah udah sekitar setahun kenal. Gue udah janji untuk main laptop dan sekedar minta film ke rumahnya Ebi. Lumayan, di rumah Ebi ada wifi, bisa ngirit kuota di saat-saat kritis kayak begini.
Setelah sekitar 30 menit ngulet di kasur, handphone gue tiba-tiba berdering. Lalu gue mengangkatnya.
“Halo?” Kata gue.
“Pan, jadi ga ke rumah gue?” jawab Ebi.
“Jadi, udah lo siapin makanannya aja, gue lagi manasin motor nih,” Kata gue, lalu ngambil handuk buat mandi.
“Ya udah. Cepat, ya.” Tutupnya.
Selesai mandi, tanpa dandan terlebih dahulu, gue langsung pergi ke rumah Ebi mengikuti alamat yang udah di-share ke gue lewat whatsapp semalam. Jalannya lumayan jauh, melewati jalan-jalan yang masih pakai tanah, di samping-samping masih lebat sama pohon-pohon dan sawah-sawah. Gue takut, dengan ngikutin jalanan huta-hutan begini, nanti tiba-tiba gue udah di pedalaman Afrika aja. Nanti tiba-tiba gue malah ngelihat singa, gorrila, dan Tarzan. Tapi untungnya itu nggak terjadi, sekitar 1 jaman gue sampai di rumah Ebi, setelah dia menjemput gue di masjid di perempatan gang, padahal gue udah 3 kali muter-muter jalan itu.
“Ini rumah lo di hutan ya? Gue curiga selama ini elo itu tarzan, rumah kok di ujung banget.” Kata gue kesal.
“Jalan ke rumah gue ini sebenarnya bagus, lo aja yang disasarin sama google maps.”
“Disasarin gimana?”
“Sebenarnya dari sini juga bisa tinggal belok kanan, terus lurus aja ikutin jalan ini, ntar juga nyampe ke kampus, lo malah muter-muter.” Kata dia sambil menunjukkan jalan yang sudah beraspal.
Ye, elo sih nggak bilang!”
“Salah sendiri nggak nanya!” kata Ebi nggak mau kalah.
Gue pun ngegigitin hp.
Rumah Ebi ini bertingkat 2, halamannya pun cukup untuk dipake jogging, dan ada mobil pajero sport warna putih yang lagi terparkir di terasnya.
“Ya udah, ayo masuk.” Kata Ebi. Gue pun mengikuti.
Gue disambut dengan lampu yang besar menggantung di tengah ruangan, dan di bawahnya ada sofa-sofa besar dan empuk. Di ruang tamu ada seseorang nenek dengan tatapan kosong duduk di kursi goyang, menghadap tv lcd yang sedang menayangkan sinetron. Gue pun sempat salim ke nenek itu, yang direspon dengan tatapan datar darinya. Gue pun langsung pergi ke kamar dengan Ebi.
“Bi, nenek lo kok jutek banget sih sama gue? Lo habis ceritain gue ke dia yang enggak-enggak, ya?” kata gue sambil menaruh tas laptop.
“Nggak, dia itu emang begitu ekspresinya dari dulu. Maklum lah udah umur.”
“Oh…” gue mengangguk.
“Nih, kirimin film-film yang semalem gue minta itu ke elo.” Kata gue sambil memberi flashdisk.
“Iya, sabar, gue aja belum nyalain laptop gue.” Balas Ebi.
“Emak sama bapak lu pada ke mana emang?” kata gue berbasa basi.
“Bokap gue kerja, biasalah, sedangkan nyokap gue lagi mudik kemarin, ngikut sama saudara. Ada saudara gue yang nikahan di kampung. Jadinya gue sama Nenek itu sendirian. Makanya gue ngajak lo main, biar gue nggak bete.”
“Yah, elo mah emang dasarnya aja lo cobet!” kata gue.
“Haha sekalian lah,”
Akhirnya gue dan Ebi pun terlarut dalam suasana laptop, Ebi yang rumahnya dipasang wifi. Sambil dengerin lagu-lagu galau yang lagi ngetrend sekarang.
“Pan, sebenernya Nenek itu bukan Nenek kandung gue.”
“Hah? Bukan kandung gimana maksudnya?” kata gue terkejut.
“Iya, jadi nenek itu adalah adiknya nenek gue, dia baru sekitar setahun yang lalu keluar dari rumah sakit jiwa.”
“Oh… kok dia nggak tinggal sama anak cucunya aja daripada di keluarga elo, ya?” Naluri kepo gue tiba-tiba menggelinjang.
“Iya, justru itu, Nenek itu nggak punya anak dan nggak punya suami.”
“Oh… udah pada meninggal, ya?”
“Bukan, dia itu belum pernah menikah, makanya nggak punya anak.”
“Kok bisa sih?” tanya gue dengan level kepo yang udah di level 99.
“Kata nyokap gue sih, pas masih muda dulu, dia itu orangnya pemilih banget kalau masalah cowok. Ada yang suka sama dia, dia tolak. Giliran dia suka sama cowok, dia malah nggak berani ngomongnya. Orangnya pemalu banget buat ngomong duluan. Akhirnya begitu terus sampai tua. Sekarang mah boro-boro milih, ada yang mau aja syukur.”
“Berarti dia perawan tua dong?” Kata gue.
“Iya, bisa dibilang begitu. Terus dia juga gagal buat dapetin impiannya, makanya dia sampai gila.”
“Emangnya mimpinya dia itu apaan?”
“Dulu itu, dia punya toko sembako yang gede banget. Uangnya melimpah, tokonya rame banget. Sampai-sampai dia kayak melupakan kalau setiap orang itu butuh keluarga, padahal dia itu udah punya duit yang banyak. Tapi nggak juga menikah—atau lebih tepatnya, dia nggak menihkah. Sampai akhirnya ada peristiwa tahun 98, yang mana hampir semua toko itu dijarah semua, toko-toko dihancurin, barangnya diambil-ambilin. Semenjak itu, dia stress terus masuk RSJ.”
“Serem banget, ya.” Kata gue. Menelan ludah.
“Iya, begitu lah, makanya, saran gue, kalau lo lagi suka sama seseorang, mending bilang aja daripada keburu dia diambil sama orang lain. Atau kalau nggak berani, mending ngga usah jatuh cinta sekalian lah.”
“Bi, gue pulang dulu, ya.” Kata gue memberesakan barang-barang gue dengan cepat-cepat.
“Lo mau ke mana? Buru-buru amat.”
“Gue pengen nembak gebetan gue, gue nggak mau ngejomblo sampai tua!!”
“HAHAHA Ya udah, sukses ya!”
30 menit kemudian gue pun menelpon Ebi.
“Bi, gue dari tadi ngikutin jalan yang elu kasih tau nih, tapi malah banyak hewan-hewan buasnya. Lo ngebohongin gue, ya?”
“HAHAHAHA…” terdengan suara ketawa yang sangat keras.
“BANGKE, GUE DITIPU! AWAS LO YA!!”