WHAT'S NEW?
Loading...

Hujan-hujanan

Langit masih setia membasahi bumi sedari pagi, aku pun terperanjat keluar untuk mencari sumber suara. “Ada adiknya, nggak, Kak?” tanya seorang anak kecil bersinglet, bercelana pendek, dan basah kuyup sambil memegang sebuah bola karet. “Ada.” Jawabku. Seketika aku memanggil adikku. “Kak, Main, ya?” Kata adikku yang langsung lari menghampiri temannya, tanpa memperdulikan apa jawabanku terlebih dahulu.

                Aku langsung melihat ke arah lapangan di samping rumahku dari teras rumah, terlihat sudah banyak anak-anak lain yang menunggu di lapangan. Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung membagi timnya dan langsung bermain bola.

                Dengan sebuah handphone di tangan, dan sebuah lagu pop dari Ungu-Demi waktu, tiba-tiba pikiranku dibuat melayang dengan sendirinya. Terbesit kenangan semasa kecil ketika aku bermain hujan-hujanan, yang mana dulu aku harus meminta izin ke ibuku dulu dengan siap-siap menerima omelan darinya. Ibuku memang paling jarang membiarkan anaknya hujan-hujanan, dia terlalu khawatir jika setelah itu anaknya akan langsung sakit.

                Pernah, di suatu siang yang mendung, saat aku sedang bermain di rumah teman, tiba-tiba turun hujan di luar dengan sangat deras. Teman-temanku langsung membuka bajunya dan bersiap main hujan-hujanan sambil bermain bola, sedangkan aku hanya berani menatap mereka sambil membayangkan ekspresi ibuku jika aku bermain hujan-hujanan dan ketahuan, apalagi belum izin terlebih dahulu. Aku membayangkan Ibuku dengan dua buah tanduk di kepalanya, sayap yang melebar di kedua punggungnya, dan mata yang menyala-nyala. Aku hanya bisa sesekali tersenyum di bawah asbes rumah teman, dan sesekali tertawa ketika melihat ada temanku yang jatuh terpleset.

Aku iri dengan teman-temanku, mereka semua tampak sangat bahagia. Sekitar 10 menit berjalan, dengan segala akibat yang sudah aku coba hilangkan dari pikiranku, akhirnya aku beranikan diri untuk bergabung dengan teman-teman sambil melepas baju. Kami semua bermain bola, tanpa memperdulikan hal-hal lain. Sekitar 40 menit berjalan, akhirnya hujan reda. Teman-temanku langsung pulang dan cepat-cepat mandi sebelum sakit kepala dan masuk angin, ada yang dipanggil Ibunya, ada juga yang pulang dengan sendirinya. Beda denganku yang tidak berani langsung pulang karena pakaianku yang masih basah kuyup semua. Aku pun tetap berada di lapangan, seorang diri dan berharap matahari yang baru saja nampak akan secepat kilat untuk mengeringkan pakaianku semua, aku berharap ini bisa mengembalikan penampilanku seperti sedia kala. Secepatnya.

Untuk mengatasi bosan, kadang aku mencoba sambil berjalan-jalan mengelilingi lapangan. Angin-angin kecil kuharap bisa mempercepat proses pengeringan ini. Sekitar 20 menit aku mencoba mengeringkan pakaianku, tiba-tiba ada seseorang yang datang ke arahku. Seketika jantungku mulai mencuat, badanku menjadi bergemetar. Seorang perempuan memakai kaus merah, memikul satu tongkat sapu, dengan mata yang tampak menyala. Yang tak lain tak bukan adalah Ibuku sendiri. Ibuku yang sekarang lebih menakutkan dibanding seekor singa hutan, lebih menyeramkan dibanding sesosok hantu, dan lebih berbisa daripada seekor ular. “Pulang, kamu!” kata Ibu sambil mengarahkan sapunya ke arah rumahku berada. “Iya…” Kataku setengah gemetar. Tanganku saling menjabat satu sama lain, berharap ada keajaiban yang datang—sembari menghangatkan badan.

                Di jalan, aku sengaja menjauhkan jarak dengan ibuku, aku tidak mau sepanjang jalan pulang aku terus diomeli, aku tidak ingin terdengar oleh teman-teman. Jarak dari tempat mainku tadi hingga ke rumah sekitar 30 meter, dengan jarak segitu pula aku terus-terusan memikirkan apa yang akan terjadi dengan nasibku jika sampai di rumah nanti. Nasibku, akan terlihat dalam hitungan menit.

                Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar mandi, menutup pintunya dan mengumpat. Tidak lama terdengar suara langkah kaki yang datang, terdengar hingga kamar mandi. Tanpa aba-aba apapun, ibu membuka pintu kamar mandi yang tidak berani kukunci itu, dan langsung melayangkan satu tebasan dengan sapunya.  Jeritku menembus langit-langit, membawa teriakan itu keluar rumah. Ibu terlihat sangat kesal, aku hanya bisa pasrah dengan amarahnya. Sambil menikmati pukulan itu, dan mengingat-ingat kembali betapa bahagianya tadi main hujan-hujanan bersama teman. Tidak apa sakit, karena aku bahagia. Memang benar, kadang untuk mendapatkan bahagia, kita juga harus mendapatkan rasa sakit. Di balik amarahnya ini, terdapat rasa khawatir yang luar biasa.

                Aku pun terjaga, langit kini sudah kembali cerah, aku tersadar dengan pemberitahuan bahwa baterai handphone-ku yang sudah melemah, yang sedari tadi menemaniku melamun dengan lagu-lagu klasik dari ungu, S07 hingga band Padi. Aku tersenyum mensyukuri itu semua, mensyukuri betapa menyenangkannya masa kecilku. Betapa menyenangkannya masa itu. Aku membayangkan, “Bagaimana jika saat itu aku tidak nekat untuk bermain hujan-hujanan?” mungkin jawabannya adalah “Mungkin sampai sekarang aku tidak punya pengalaman seseru ini.” tutupku, lalu kembali ke dalam rumah dan men-charge handphone-ku itu.

Hati-hati Penipuan!

Beberapa hari yang lalu, gue masuk kampus seperti biasa tanpa ada feeling apa-apa. Nggak ada yang aneh, sampai akhirnya tiba-tiba, di saat kelas belum dimulai, ada seorang temen dengan muka sedikit pucat, nyamperin gue lalu berkata “Pan, tadi ada yang pura-pura jadi elo, dan dia nelpon gue buat kirimin pulsa yang 200rb!”
Dahi gue tiba-tiba mengkerut, ada maksud yang belum bisa gue cerna, “Kok bisa? Maksudnya gimana?”
“Jadi, ada yang pura-pura jadi elo, dan dia bilang kalau dia habis ketilang. Terus minta kirimin pulsa 200 ribu buat ngurusinnya.”
“Kok dia bisa tau gue itu temen lo? Gue itu terkenal banget dong, ya? Haha.” deleted.
“Kok dia bisa tau gue itu temen lo?” send.
“Ya makanya itu, dia bisa tau elo, untungnya gue sempat mastiin dulu buat nelpon si B.”

Jadi, sebelum gue berangkat ngampus tadi, ada teman yang sengaja nunggu gue buat bareng alias mau nebeng yang kita sebut saja si B, nah dia itu nunggunya di depan gerbang Citra Raya. Di situ, si B nunggu berdua sama si C, dan si C itu nunggu tebengan juga, tapi dari si A, nah si A ini yang diteror dengan orang yang ngaku-ngaku sebagai gue. Gitu. Bingung ga? Bingung? Sama sih gue juga bingung. Bentar ya, gue minum paramex dulu…

“Pasti ketahuan kali kalau dari suaranya itu bukan gue, pasti beda.” kata gue mencoba memastikan.
“Enggak, Pan… dari suaranya juga sama kayak suara lo, makanya itu yang bikin gue sempat bingung.”

Kirain selama ini cuma nama gue doang yang pasaran, ternyata suara gue itu juga pasaran. Lama-lama nanti apa lagi yang bakalan pasaran? Muka gue? Besok-besok mungkin gue bakal ngelihat orang lain di depan muka gue dengan muka yang sama kayak gue.

Akhirnya gue menunggu si orang yang pakai identitas gue buat menipu ini sampai akhirnya dia menelpon si A lagi. Karena katanya, sebelumnya dia udah sekitar dua kali nelpon lagi, tapi sampai gue tungguin dan jam pelajaran terakhir udah mau habis, ternyata si pelaku nggak juga nelpon-nelpon lagi sampai sekarang.

Yang jadi pertanyaan adalah: Apakah orang ini adalah orang dekat yang sengaja ngerjain gue sama teman gue ini? Apa ini adalah orang dekat yang emang pengen menipu kami, makanya dia sampai tau gue, dan dia juga tau nomor teman gue ini? Kalau pun bukan dan dia itu orang asing, kok dia bisa tau gue? Apa cuma kebetulan aja, atau dia emang udah mengincarnya dari lama? Entahlah, semua pertanyaan itu masih berakhir dengan tanda tanya sampai sekarang. Intinya sih jangan gampang percaya sama orang, untung teman gue ini nggak begitu.

Ngomong-ngomong tentang jangan gampang percaya sama orang, gue pernah dengar cerita dari teman gue, katanya ada saudaranya yang kena tipu. Jadi modusnya pun sama, sama-sama menipu lewat telepon dan mengaku sebagai orang yang dikenal. Jadi orang yang ditipunya ini adalah seorang perempuan, berumur sekitar 23 tahunan. Pada suatu sore, si perempuan ini ditelpon oleh seorang bapak-bapak yang mengaku kalau dia melihat anaknya habis kecelakaan, dan sekarang lagi ada di rumah sakit. Dia dapat nomornya dari handphone si anaknya. Si perempuan yang mendengar kabar itu pun panik, dia langsung menelpon suaminya bahwa anaknya baru saja kecelakaan, tapi saat di telepon, respon si suami malah menertawakan istrinya tersebut.
“Kamu kok malah ketawa sih? Anak kita lagi bahaya lho ini!” si perempuan pun membentak suaminya tersebut.
“Abisnya kamu lucu.”
“Lucu dari mana?! Serius.”
“Kan kita itu belum punya anak, sayang…. Orang nikah aja baru kemarin, ini aja aku masih pakai baju adat di kantor.”
…..
“Hehe… kamu nanti pulang mau dimasakin apa?”
“Apa aja, asal kamu yang masak, pasti bakalan aku makan.”
“Duh… udah dulu ya, aku mau terbang dulu. Bye…”


Aku Pamit

Saat ini, aku tak tau kabarmu.
Saat ini, aku tak tau kamu dengan siapa.
Bukannya aku tak bisa mengetahuinya.
Lebih tepatnya, aku tidak ingin mengetahuinya.

Sepertinya, selama ini aku sudah salah menilaimu.
Kamu yang selama ini kuanggap menyayangiku juga, kenyataannya malah sebaliknya.
Jika memang keduanya saling menyayangi, bukan kah seharusnya selalu ada balasan?
Itu yang tidak terjadi padamu.
Aku yang selalu mencoba melangkah lebih jauh,
Selalu tertahan karena sikapmu yang selalu menjauh.
Aku yang selalu mencoba membuat semuanya lebih dekat,
Selalu tertahan karena dirimu yang tidak mau dekat.
Kuharap, apa yang aku simpulkan di sini, semuanya adalah kesalahan.

Kamu yang kukenal pertama kali,
Sangat berbeda dengan apa yang aku tahu sekarang.
Entah kamunya yang sudah berbeda,
Atau memang sifat asli kamu memang begini dan aku baru mengetahuinya.

Tapi, jika memang benar begitu,
Tolong suruh aku berhenti.
Jangan biarkan aku berlari sendiri.
Terlalu banyak hal yang tidak aku mengerti darimu.
Aneh, beda, membingungkan.
Ah, entahlah.
Biarkan untuk kali ini aku undur diri.
Aku pamit.
Sekarang kamu bebas, Sayang.

Bila Nanti

Aku sangat bersyukur orang sepertimu rela singgah padaku.
Meski diriku, mungkin tidak akan pernah bisa menjadi yang terbaik untukmu.
Terima kasih atas semuanya.
Terima kasih.
Tapi,
Apakah kata terima kasihku cukup atas semua kebaikanmu itu?
Sungguh, aku tak tau apa yang harus kulakukan lagi.
Tolong, beritahu aku,
Apa yang perlu dilakukan, oleh seekor katak kepada tuan Putri-nya ini?

Bila nanti, saat kita bertemu, senyumku sudah berbeda,
Percayalah, mungkin di saat itu juga, aku sudah memutuskan untuk pergi.
Bila nanti, aku sudah mulai terbiasa denganmu,
Mungkin di saat itu juga, aku sudah bisa mengatasi perasaan sakit ini.
Bila nanti, mataku sudah bisa menatapmu dalam-dalam, percayalah,
Mungkin di saat itu juga,
Kuanggap tatapanmu sudah tidak seluar biasa dulu.
Dulu, di saat aku benar-benar menyayangimu,
Dan kamu pun juga, benar-benar.... Mengecilkannya.

Tahukah kamu, kapan ‘nanti’ itu terjadi?
Melupakanmu, tidaklah semudah ketika pertama aku menyukaimu,
Jadi itu mungkin saja terjadi, saat nanti, saat mungkin, bumi sudah tidak berputar lagi.

Ini Kelainan Gue Bukan Sih?

Gue sering banget merasa beda dari cowok-cowok lainnya. Gue kalau ngelihat teman-teman gue, kayaknya mereka bisa aktif banget gitu dalam hal kayak “ngegodain cewek”. Gue suka merhatiin, mereka sering ngegodain kalau ada cewek yang lewat di depan mereka. Suka genit seolah cewek itu adalah pacar mereka. Pokoknya bisa aja gitu ngegodain cewek-cewek. Sedangkan gue, gue orangnya bukan kayak gitu. Gue nggak bisa ngelakuin itu. Pernah sempet nyoba, tapi nggak “selancar” cowok-cowok lain, sekalipun cewek itu adalah orang yang dekat sama gue. Gue kalau pengen ngobrol, mendingan manggil namanya baik-baik, terus tanyain pertanyaan yang emang pengen ditanyain. Atau samperin orangnya, dan ngobrol layaknya orang yang biasa ngobrol. Itu baru gue. Ini kelainan bukan sih?

Gue orangnya emang kurang bisa disorot sih, sekalinya gue disorot, gue suka mendadak berkeringat dingin. Bahkan, waktu di Jogja dulu gue pernah mau nyebrang jalan, pas lampu lalulintasnya lagi merah. Semua orang pada diam di belakang garis, sambil menunggu lampu kembali hijau. Gue yang waktu itu nyebrang sendirian, gue merasa kayak lagi dilihatin sama orang-orang itu. Gue merasa lagi diomongin di dalam hati sama mereka, merasa lagi dicaci maki, sampai-sampai jantung gue pun meningkat kecepatan denyutnya. Kayak lagi tampil di atas panggung, dan mereka adalah penontonnya. Bahkan, untuk menyebrang jalan pun gue merasa segrogi itu. Apalagi untuk masalah cewek. Gue gak bisa jadi orang yang aggressive, gue nggak bisa jadi orang yang ngomongnya lancar ketika ngobrol, apalagi dengan cewek yang gue suka. Sedikit mengingat aja, dulu pas sekolah di SMK itu gue pernah naksir sama adik kelas, sekarang orangnya malah jadi satu kampus sama gue, dan satu angkatan lagi. Yang tadinya kakak-adik, sekarang malah jadi seangkatan. Hidup kadang memang selucu itu, ya. Nah, dia itu orangnya lebih aggressive daripada gue. Dulu, beberapa kali pas ngobrol, sebenarnya itu gue yang nyamperin dia ke kelasnya. Tapi, pas ketemu mulut gue kayak kekunci, kaki gue gemeteran parah. Alhasil gue selama ngobrol sama dia itu sebenarnya sambil berkeringat dingin saking groginya. Terus pas udah selesai, gue ngomong di dalam hati, “Ini kenapa jadi grogi gini sih gue? Bego banget”.

Gue orangnya emang enggak sepercaya diri itu buat ngegodain cewek, dan kalau gue merasa itu bukan gue banget, dan bikin gue nggak nyaman, ngapain gue ikut-ikutan, ya ‘kan? Aneh nggak sih? Aneh ya? Ya udahlah gak apa-apa. Jadi apa adanya aja.


Seumur hidup, gue belum pernah yang namanya kenalan sama cewek secara langsung. Ujug-ujug nyamperin, minta kenalan, dan minta nomornya. Nggak berani gue. Sebelum keluar omongan, mungkin jantung gue udah copot duluan. Dulu pun kalau punya nomor cewek, gue itu minta langsung karena udah kenal duluan, atau yang paling banter, gue dapet nomornya dari temen gue yang ngerekomendasiin itu. Tapi dari beberapa kasus, grogi ketika ngobrol itu cuma pas di awal-awal pertanyaan doang, setelahnya bakal enjoy dan menikmati obrolan itu. Karena mungkin, sama-sama nggak berani memulai duluan. Bahkan di pertanyaan-pertanyaan yang nggak penting sekalipun, karena satu sama lain merasa “nyambung”. Padahal, kalau pun udah dimulai nggak bakalan terjadi sesuatu yang berbahaya juga, ya... 

Aku Ketemu Orang Lain

Pada suatu hari, ada sepasang kekasih yang saling mencintai sejak SMA, mereka saling mensupport satu sama lain hingga akhirnya mereka bisa kuliah di tempat yang sama. Lalu mereka bisa lulus kuliah bareng-bareng dengan IPK yang terbaik. Namun, setelah lulus mereka harus terpisah karena waktu. Yang cowok, dia harus melanjutkan kuliah S2 arsitektur di Jerman. Sedangkan yang perempuan, melanjutkan kuliah designer di Indonesia. Perjalanan itu mereka tempuh bersama-sama. Hubungan jarak jauh, dengan sesekali si cowok pulang ke Indonesia di saat liburan musim panas. Mereka bertemu, mengenang masa lalu, membahas masa kini, semuanya terasa hangat sekali. Sampai begitu seterusnya. Hubungan mereka lebih romantis dari Romeo-Juliet, lebih setia daripada kesetiaan Hachiko—kisah si anjing yang terus menunggu di stasiun kereta demi menunggu majikannya yang sudah meninggal pulang untuk menemuinya.



Namun, pada semester-semester akhir, mereka disibukkan dengan tugas-tugas yang amat menumpuk dari masing-masing. Keduanya semakin jarang berkomunikasi. Yang awalnya mereka hampir setiap hari selalu video call-an, sekarang sekedar menanyai kabar saja sudah jarang, itu pun karena si cewek yang menyapanya duluan. Semakin hari si cewek semakin bingung apa yang harus dilakukan, karena ia pun mengalami hal yang sama—diganggu oleh tugas. Si cowok yang awalnya hampir setiap satu semester sekali pulang, kali ini bahkan sudah dua semester ia tidak menengok keluarganya; juga dirinya.

Lalu pada suatu siang yang cerah di hari minggu, tiba-tiba ia di-chat oleh si cowok, yang katanya ingin bertemu di tempat biasa, malam ini; di café di mana mereka pertama kali melaksanakan dinner. Si cewek pun kaget, si cowok pulang tapi tidak mengabarkan apapun sebelumnya. Berbeda dari biasanya. Namun, raga sudah terlanjur senang, segala perasangka buruk pun terbantahkan secara cuma-cuma.

Malam hari pun tiba, si cewek menggunakan dress terbaiknya. Dengan gaun berawarna biru, dengan makeup yang elegan, si cewek dengan senang menyambut baik malam itu, ia merasa menjadi seorang ratu semalam, ia sudah bersiap-siap sejak siang—dari semenjak si cowok mengabarkan ingin bertemu. Si cewek pun sampai di café, seperti biasa, meja nomor dua puluh satu adalah meja yang selalu mereka tempati setiap makan di situ. Jika bukan meja itu, mereka rela menunggu orang yang menempati meja itu pergi, baru mereka mau makan. Di tempat sudah terlihat si cowok dengan kemeja hitam dengan rambut klimis. Si cewek pun datang ke meja tersebut dengan hati yang berdebar-debar, sambil mengingat-ingat kalau ini adalah kali pertama mereka bertemu kembali setelah hampir satu setengah tahun lamanya.
Mereka pun bertemu, berpelukan. Air mata tiba-tiba terjatuh dari pipi si cewek, kebahagiaan yang ia tunggu-tunggu selama ini akhirnya datang juga.

“Aku kangen banget sama kamu.” Kata si cewek dengan suara yang tersedu-sedu.
“Iya, aku juga.” Kata si cowok, lalu mengusap air mata yang ada di pipinya. “Udah dong, kamu jangan nangis, aku jadi ikutan sedih.” Lanjutnya.
“Kamu kenapa kok pulang nggak ngabarin aku dulu?” Balas si cewek.
“Sebenarnya, ada yang pengen aku omongin sama kamu.”
“Omongin? Kamu mau omongin apa? Please, jangan yang aneh-aneh...”
“Kamu sayang kan sama aku?” balas si cowok bertanya.
“Iyalah! Kamu kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu, sih? Perasaan aku mendadak nggak enak begini.”
“Eeeehh… Jadi, mulai sekarang, kamu harus lupain aku.”
“Lupain? Maksud kamu apa sih? Kamu bercandanya nggak lucu, tau gak!”
“Maaf, tapi….” Balas si cowok.
“Tapi apa?!” Si Cewek memotong
“Aku… Aku… udah ketemu orang lain. Maaf.”

Si cewek terdiam. Entah apa yang barusan ia dengar. Entah apa yang harus ia katakan. Tiba-tiba terbayang kenangan manis hubungan yang telah ia jalani hampir 8 tahun, semuanya menjadi sia-sia. Kenangan itu lebih pahit dari pare—sayur paling ia benci sampai kini. Lebih sakit daripada saat ia terjatuh dari motor beberapa hari yang lalu. Si cowok pun pergi tanpa meninggalkan kata-kata lagi. Si cewek pun membisu.

***

3 tahun kemudian.

Si cewek dengan anak bayi yang baru berusia 4 bulan, tertawa dan mengobrol bersama. Keluarga yang baru saja terbentuk 2 tahun yang lalu. Tepat setahun di saat si cewek sudah berhasil mengutuk si cowok—mantannya itu, sejadi-jadinya. Ia dipinang oleh rekan sekerjanya sendiri dan menjadi keluarga yang harmonis—hingga kini.

Di suatu siang, si cewek lagi buka-buka facebook, ia menemukan sebuah foto yang dibagikan oleh teman sekampusnya dulu, dengan beberapa gambar foto si mantan cowoknya itu dengan menggandeng seorang nenek-nenek tua.

Di statusnya tertulis.
“Salut banget sama teman kampus gue dulu, yang dulu di kelas paling pinter, paling pendiam, sekarang udah tinggal di Jerman. Bahagia banget melihat dia menikah dengan seorang nenek yang lumpuh. :)”

Si cewek pun tertegun. Karena selama ini dia benar-benar mengutuk si cowok tersebut dari hidupnya, dengan cara membuang segala barang yang berhubungan denga si cowok tersebut. Sampai-sampai, mendengar namanya saja sudah bisa membuat mood-nya hancur seharian. Si cewek pun tersadar, lalu cepat-cepat ia logout dari akun facebook-nya tersebut.


Tamat.

Yang Cowok Butuhkan Dari Cewek


Sebagai manusia, emang kita itu nggak boleh yang namanya kepengen dipuji. Karena yang layak untuk dipuji hanyalah Allah SWT. Tapi, yang namanya manusia itu kadang haus banget sama yang namanya pujian. Terutama cowok. Cowok itu seneng banget kalau dia dipuji dari apapun yang habis dia lakukan. Karena berasa banget ada yang mengapresiasinya.

“Beri ego kami makan, maka akan kubalas kamu dengan perhatian.” – Unknows artist.

Makanya, cewek kadang suka salah persepsi. Mungkin karena dia suka diperhatiin, pas dia suka sama cowok, dia juga suka ngasih perhatian ke cowok. Padahal, cowok nggak butuh-butuh banget perhatian. Kayak “lagi apa?”, “Udah makan belum?”, dll. Ya, walaupun pertanyaan-pertanyaan itu kadang masih harus dipakai sih buat kalian yang masih kangen tapi udah nggak tau mau bahas apaan lagi. Tapi kadang, cowok pun masih suka ngelakuinnya. Karena kadang, kangen itu nggak butuh ketemu, nggak butuh ngobrol, cuma butuh kabar aja, dengan chattingan haha-hihi gak jelas. Akhirnya rindu pun terbalas.

Jadi, nih, ya, puji aja dulu apa yang dilakuin sama cowok yang lo suka, gue jamin cowok manapun bisa aja lo dapetin. Misalkan dia hobinya masak, terus dia ngasih makanan itu ke elo buat nyicipin, puji aja kayak “Makanannya enak banget. Kok lo jago banget sih masaknya?”, gue jamin, setelah lo ngomong begitu, muka dia langsung memerah karena kesenengan. Ya walaupun setelah nyobain itu lo harus koma 3 hari gara-gara makanannya, gakpapa, untuk mendapatkan sesuatu kan butuh perjuangan dan pengorbanan. Atau kalau lo habis nonton dia main futsal, puji aja dia, walaupun dia mainnya kayak ayam yang baru aja digorok terus dilepasin sama abangnya, gerak-gerak nggak jelas gitu. Kayak gue nih, gue seneng banget kalau ada yang muji gue. Nggak munafik lah. Haha. Namanya juga cowok. Tapi, setelah dipuji kadang juga suka mikir, “Segala sesuatu kan suka ada plus dan minusnya, yang dia omongin plusnya doang, dan gue yakin, gue masih banyak minusnya.” Akhirnya setelah sadar akan hal itu, gue nggak jadi terbang.

Memuji tapi bukan ngomong hal yang sebenarnya kan bukannya bohong ya? Iya sih, tapi kan namanya juga lagi PDKT, ya tunjukkin aja dulu apa yang pengen dia dapetin, ntar kalau pas udah jadian, baru dah tuh jujur aja kalau dia ngelakuin apa-apa, mau jelek atau bagus. Haha. Biar doinya makin belajar juga, semakin belajar semakin bagus juga buat ke depannya. Nanti pas udah suami-istri kan enak karena udah terbiasa saling terbuka.

Ebi: Kelas Horror



Pagi itu gue dapat sebuah chat dari Pak Supri, dosen rese yang tiba-tiba nyuruh masuk kelas padahal hari ini lagi nggak ada kelas. Emang sih, kelas gue pas pelajaran dia itu ketinggalan banget, mungkin karena beliau kepengen kelas gue bisa mengejar pelajaran dia dan sama kayak kelas-kelas lain. Dan saat itu juga, gue akhirnya mencoba nge-share chatting-an gue sama Pak Supri ke grup, dan respon anak-anak pun beragam.
Ebi nggak bisa baca apa gimana..
#Kita pasti selalu punya teman di suatu grup yang suka bertanya padahal jawaban dari pertanyaan tersebut udah ada di atas. Tapi malah dia nanya lagi. Ngeselin.

Malam itu gue datang sama Ebi ke kampus pakai motor gue, motor Ebi katanya lagi diservis, padahal dia ngomong begitu udah dari 2 bulan yang lalu, gue curiga kalau motornya itu bukan diservis, tapi udah ditarik dealer gara-gara nggak bayar cicilan. Sampai di kampus, gue langsung menuju ke kelas. Di jalan menuju kelas, gue melihat mahasiswa lain melihat dengan tatapan marah gitu ke arah gue dan Ebi. Matanya rada melotot, kedua alisnya mengekerut, diam, sambil memperhatikan gue berjalan. Berasa gue lagi dilihatin sama psikopat-psikopat yang nggak sabar mau mengejar dan merintilin organ gue. Padahal seingat gue, gue nggak merasa habis melakukan kesalahan. Paling banter, kesalahan itu pas gue kemarin turnamen futsal antar kampus dan gue berhasil mencetak gol, ya walaupun ke gawang tim gue sendiri sih.. Tapi gue nggak percaya kalau kejadian itu bisa terbawa-bawa sampai kampus dan jadi kayak pada membenci gue begini. Karena kurang nyaman sepanjang kampus dilihatin orang-orang, akhirnya gue dan Ebi berlari ke kelas biar lebih cepat. Pas sampai di kelas, gue buka pintunya, ternyata kelas pun sudah ramai sama teman-teman gue yang lain, dosen pun sudah duduk di tempatnya. Gue yang merasa terlambat akhirnya menuju ke bangku paling belakang dengan muka yang memerah karena merasa malu sudah terlambat. Gue dan Ebi duduk bersebelahan, lalu gue penasaran sudah berapa lama gue terlambat, akhirnya gue melihat jam tangan di lengan kanan gue yang menunjukkan pukul 19.50 yang mana seharusnya kelas pun belum mulai karena mulai seharusnya pukul 20.00, dan berarti gue masih belum terlambat, tapi tumben-tumbenan anak-anak udah pada kumpul semua di kelas. Akhirnya gue mencoba untuk tetap berpositive thinking, “Mungkin anak-anak lagi pada bersemangat kali ini.”

Setelah masuk kelas dari tadi, belum ada satu pun yang memulai pembicaraan. Semuanya diam, bengong dan nggak bicara apa-apa.
“Bi, lu sadar nggak kenapa dari tadi orang-orang pada diam?” Kata gue sambil melihat sekitar.
Hening.
“Bi?!”
Belum juga ada jawaban. Gue pun mengengok ke arah Ebi, terlihat Ebi sedang menunduk. Mukanya tampak sedang sangat bercahaya. “Ebi!!!” Kata gue teriak.
“Diem, bego! Gue lagi serius nih, kalah lagi malah nanti!” Kata Ebi sinis, lalu melanjutkan main game-nya di handphone.
“Ya, bilang kek kalau lagi main hp! Lu sadar nggak dari tadi itu orang-orang pada bertingkah laku aneh?”
“Aneh gimana?”
“Ya, coba dari pas tadi kita nyampe kampus, orang-orang itu pada ngelihatin kita semua. Sekarang malah di kelas orang-orangnya pada diem semua.”
Ebi lalu berhenti main handphone-nya, menegakkan kepala dan melihat sekitar, “Perasaan lo doang kali, ah! Kebanyakan nonton film horor sih lo!” Kata Ebi, lalu melanjutkan main handphone-nya kembali.
“Yeee dibilangin!”
Lalu setelah penasaran dengan apa yang terjadi, berdasarkan film-film horor yang pernah gue tonton, gue pun mencoba melihat kaki mereka, buat memastikan kalau kaki mereka napak lantai. Gue pun menjatuhkan pulpen gue ke lantai dan pura-pura mengambilnya, sambil melihat kaki mereka. Dan benar saja, dari puluhan mahasiswa dan satu dosen yang hadir, cuma ada penampakan kaki gue dan kaki Ebi dengan sepatu Ebi yang entah udah berapa tahun nggak pernah dicuci, dekil dan kotor banget. Gue yakin baunya kalau sampai tersebar levelnya bisa mematikan sampai 5 ekor gajah dewasa.
“Bi, orang-orang kakinya nggak pada napak!” Kata gue berbisik ke Ebi.
“Masa sih?” Ebi pun langsung spontan melihat ke bawah. “Bener juga!” Kata Ebi terkejut.
“Terus gimana?” Kata gue, panik.
“Kita kabur aja, tapi pelan-pelan, jangan sampai ada yang curiga.”
“Ya udah, gimana caranya?”
“Gue bakal pura-pura ke wc, terus beberapa menit kemudian, lo nyusul, ya? Habis itu kita langsung kabur pulang.”
“Oke.” Kata gue mengangguk.
Jantung gue berdetak kencang, badan gue lemas, kepala gue pusing. Gue nggak berani tengok kanan-kiri, gue hanya menundukkan kepala dan melihat terus-menerus ke arah meja gue. Suasana kelas berubah tiba-tiba menjadi mencekam, bulu kuduk di leher gue spontan mendadak berdiri. Gue berasa lagi ada di film horor. Kaki gue gemetar parah, omongan gue pun 
patah-patah. Keringat dingin bercururan.

“HADUUH…. KEBELET PENGEN PIPIS, KE WC DULU, AH….” Kata Ebi sambil berteriak, berharap satu kelas mendegar, lalu beranjak pergi meninggalkan gue sendirian di kelas.
“Gila, keren banget dia aktingnya.” Kata gue dalam hati.

Biar nggak ada yang curiga, gue mau memberi jarak antara keluarnya Ebi dan gue. Sekitar 5-10 menitan. Tapi nggak lama setelah Ebi keluar, ada suara benda jatuh dari belakang, dan suaranya sangat keras, seperti suara buku binder yang sengaja dibanting. Padahal yang duduk paling belakang itu gue. Which is nggak ada orang lain lagi di belakang gue. Karena gue nggak mau melihat yang aneh-aneh, gue putuskan untuk nggak menengok ke belakang. Selang beberapa waktu kemudian, lampu kelas kedap-kedip sendiri. Cukup lama. Nggak ada satu pun orang yang bereaksi atas kejadian itu, kecuali gue yang udah hampir pingsan. Bulu kuduk gue udah mencapai puncaknya, jantung gue udah berasa pengen pecah, gue pun bermandi keringat. Karena udah nggak kuat, akhirnya gue kabur dengan jalan cepat menuju pintu kelas tanpa berkata apa-apa. 

Sebelum sampai pintu kelas, gue kemudian dihadang sama seseorang. Memakai daster putih kotor yang juga menenggelamkan kakinya, dengan kepala yang tertunduk ke bawah. Rambut hitam panjang berantakan, dan muka pekat siluet. Nggak lama kemudian dia menegakkan kepalanya, melihat arah gue. Terlihat muka yang sangat berantakan, satu bola matanya menempel di pipi. Wajahnya berlumuran penuh darah. Lalu mulutnya bergerak, dan bilang ke gue dengan nada ala-ala kuntilanak “MAU KE MANA, PAN?” lalu mulutnya terbuka lebar, dia tertawa sangat kencang, sedangkan gue teriak dengan sangat histeris. Kaki gue mematung, badan gue berasa lagi dirantai, nafas gue terhenti sejenak. Kemudian makhluk itu nyamperin gue, memegang pundak gue dan mendorong gue hingga terpental jauh. Kepala gue terbentur tembok dengan sangat keras. Pandangan gue pun memudar, mendadak kabur semuanya.
Pandangan gue gelap.
Kepala gue sakit.
Badan gue berasa habis dipukulin.

Tidak lama kemudian, gue mencoba membuka mata. Baju dan rambut gue basah, nafas gue ngos-ngosan. Gue tiba-tiba berada di sebuah kamar, yang hanya diterangi satu buah lampu tidur. Sebelah kanan gue, ada kolong kasur yang amat gelap. Sedangkan sebelah kiri gue ada meja belajar. Gue pun tersadar, ini adalah kamar gue sendiri. Dan yang baru gue ingat, kalau gue tadi tidur nggak baca doa dulu karena kelelahan habis main futsal. "Syukurlah, cuma mimpi, dan gue cuma jatuh dari kasur." Kata gue dalam hati.


Lalu, gue lihat jam dinding di kamar gue, baru aja jam 3 pagi. Gue pun kemudian bangun dari lantai, kembali naik ke kasur. Membaringkan diri di kasur, memasang selimut, dan menghadap ke kanan. Kemudian tiba-tiba terlihat sosok yang tadi muncul di mimpi gue, dan kembali berkata “MAU KE MANA, PAN?” sambil tersenyum dan memperlihatkan giginya yang hancur, lalu kemudian tertawa kencang kembali. Gue teriak, lalu gue kembali nggak sadar diri. Pandangan gue kabur lagi, dan sejak saat itu gue nggak ingat apa-apa. Seolah ada yang sengaja mengambil memori itu dari otak gue, dan menghapusnya. Hingga satu minggu kemudian, gue baru ingat kembali cerita itu ketika gue sedang mengambil buku binder gue yang terjatuh di kamar pas gue lagi belajar. Suara jatuhnya pun mengingatkan gue dengan suara aneh yang ada di kelas dan nggak berani gue tengok itu, saat gue ambil bukunya, ternyata makhluk itu lagi tiduran di kolong kasur dengan tatapan kosong sambil membuka mulutnya lebar-lebar.

Ebi: Absenin dong, bro!




Malam itu, gue masuk ke kelas yang cukup sepi. Hanya ada sekitar 15 orang di dalamnya dari sekitar 30 orang lebih yang biasanya selalu hadir. Pas gue datang, gue langsung duduk di bangku tengah. Gue nggak duduk di paling depan karena takut disuruh-suruh, nggak juga duduk paling belakang karena gue takut nanti ditunjuk buat maju ngerjain soal di papan tulis. Karena gue nggak bisa-bisa amat sama pelajarannya. Udah gitu, minggu kemarin ada tugas dari dosen ini yang belum gue kerjain. Atau lebih tepatnya; Nggak gue kerjain. Karena gue nggak ngerti, nanya teman pun sama sekali nggak ada yang bisa bantu. Ya udah, hari ini gue akan mencoba menghadapi dosen killer tanpa persiapan peluru dan senjata apapun.

Sekitar 10 menit kemudian dosennya pun datang, dengan kemeja hitam, dasi abu-abu, dan celana bahan hitam. Yang masih setia dengan kumis lebat dan rambut klimis seperti biasanya.
             “Selamat malam semua.” Kata dosen, sambil menaruh tas laptopnya.
             “Malam, Pak.” Kami sekelas menjawab.
Suasana kelas yang tadinya ramai dengan candaan kemudian tiba-tiba hening kayak kuburan, semua mahasiswa menjadi duduk dengan tertib dan rapih. Yang gue harap saat itu adalah, dia langsung masuk ke materi pelajarannya, dan dia lupa kalau minggu lalu dia ngasih tugas yang sama sekali nggak gue mengerti itu.
             “Jadi sampai mana pelajaran kita minggu kemarin?” Tanya si dosen.
             “Baguslah,” Kata gue dalam hati. “Ternyata dia nggak ingat sama tugas yang dia kasih minggu lalu, jadi bisa gue skip aja ke materi selanjutnya.”
            “Sampai di Bab 11, pak, ada tugas dari bapak minggu kemarin.” Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang, suara yang cukup jelas dan lantang. Kami sekelas dengan serentak melihat ke sumber suara itu, terdapat seorang perempuan, duduk di pojok kanan belakang, dengan kerudung biru tua, baju lengan panjang putih dan celana levis biru. Yang mana itu adalah temen gue, Surti. Dengan wajah yang tadinya penuh senyum, tiba-tiba wajahnya berubah setelah ditatap oleh teman sekelas, seolah-olah mukanya bertanya, “What’s wrong, dude?”
             “Oh iya, minggu kemarin saya ngasih tugas, ya? Maaf, sampai lupa bapak, ada yang mau maju?” Tanya dosen.

Sekelas hening. Hanya terdengar suara-suara bisikan ke arah Surti yang dilemparkan oleh anak-anak. Sementara Surti masih memasang tampang polos dengan senyum-senyum tidak bersalah. Terlihat anak-anak masih menatap Surti dengan tatapan seperti “Bego, lu!”
             “Saya aja yang maju, Pak.” Kata Surti.
Menurut gue ada dua kemungkinan kenapa Surti ingin maju. Satu, dia ingin ‘membayar’ kesalahannya itu karena sudah mengingatkan dosen yang lupa sama tugasnya, atau dua, ada teman gue yang nyuruh Surti maju dan sekarang lagi menodongkan pisau di belakangnya.
              “Jangan kamu, Sur, kamu sudah sering maju, biarkan yang lain.” Balas dosennya.
              “Iya, Pak.”
Detik demi detik pun berlalu menjadi menit, tidak ada satu orang pun yang maju.
Gue mencoba buat pura-pura membaca buku, mencoba tetap tenang, dan seolah-olah kalau pun gue yang ditunjuk, gue bisa melakukannya. Padahal sama sekali nggak bisa. Gue memasang tampang yang cool, dengan dahi sedikit dikerutkan, alis naik sebelah, dan mulut agak sedikit dimonyongin. Tampang gue persis banget kayak monyet habis distrum. Tapi gak apa-apa, daripada gue ditunjuk.

Maklum anak-anak nggak ada yang mau maju, karena terakhir, tepatnya minggu kemarin ada yang maju dan dia nggak bisa, terus dia disuruh berdiri sepanjang pelajaran di depan kelas, sampai pulang. Selalu seperti itu, dari minggu ke minggu, makanya kami semua kalau masuk kelas dia berasa lagi nonton film horor, tapi bedanya ini horrornya secara live. Udah kayak lagi ikut masih dunia lain.

Akhirnya, mungkin karena terlalu lama gak ada juga yang mau maju, pandangan dosen pun mulai menyapu seluruh isi kelas, melihat-lihat siapa yang akan menjadi ‘korban’ berikutnya. Dia berdiri dari bangkunya, matanya menyala, kepalanya bergerak dari kiri ke kanan ruangan, balik lagi dan berhenti dengan posisi kepala mengarah ke arah gue. “Itu, mas yang itu, maju.”

“DOOR!!” Entah kenapa suara itu seperi suara tembakan yang terdengar di telinga gue. Sebuah timah panas yang tiba-tiba meluncur deras ke arah jantung. Jantung gue mendadak dugem, darah gue mengalir dengan deras, otak gue berasa panas semua, keringat dingin pun mulai bermunculan. Gue mencoba menoleh ke arah dosen, dan berharap ada suatu keajaiban bisa menolong gue saat ini. Kalau aja waktu bisa diundur beberapa jam yang lalu, gue bakalan milih untuk nggak masuk aja hari ini. fak.

                “Saya, Pak?” Tanya gue dengan tatapan muka yang mencoba tetap terlihat cool, dan berharap orang yang dia maksud itu bukan gue.
                “Bukan, itu orang yang sebelah kamu itu.” Kata dosennya.
                “Oh…” Kata gue sambil menoleh ke arah kiri.

Apa yang terucap sama mulut gue: Oh…
Apa yang sebenarnya gue ucapakan dalam hati: JADI BUKAN SAYA, PAK? HAHAHAHA ALHAMDULILLAH HAHAHAHA KYAAAAA~ KYAAAA~

Ternyata yang ditunjuk adalah teman di samping gue, namanya Rendy. Terlihat ada keringat dingin juga di wajahnya, wajahnya pun tiba-tiba memutih pucat. Hal yang sama yang gue rasain beberapa menit lalu, dan yang gue rasain sekarang adalah perasaan lega.

                “Wei, gimana ini?” Tanya Rendy ke gue.
                “Gue juga belum, nggak ngerti gue!” Balas gue.
                “Haduuhh…”

Akhirnya Rendy pun maju, dengan langkah yang slow motion, sambil melihat-lihat isi buku dia, yang gue yakini padahal nggak ada jawaban sama sekali di bukunya. Gue yakin dia sengaja berjalan pelan-pelan sambil nunggu bel pulang, walaupun kelas baru aja berjalan sekitar 10 menitan. Rendy pun menulis soalnya di papan tulis. Tidak lama kemudian, buku absen dosen tiba di tempat gue, yang siap untuk ditandatanganin. Tiba-tiba gue teringat chat whatsapp dari Ebi, teman gue yang tadi siang katanya malas masuk dan ‘nitip absen’ ke gue. Teman yang kampret emang. Dia yang enak, gue yang dosa. Gue absenin, dosa. Nggak gue absenin juga guenya udah terlanjur janji, ujung-ujungnya gue dosa juga. Ya udahlah, mau nggak mau gue absenin aja.

Kelas sudah hampir pulang, Rendy belum selesai juga mengerjakannya di papan tulis, gue nggak ngerti, dia ngerjain soal apalagi gali sumur, kok nggak selesai-selesai. Sambil menunggu kelas yang cukup membosakan ini selesai, gue sesekali buka twitter, bales-balesin chat yang masuk, sampai gue iseng ngitungin jumlah hutang negara ini, Rendy belum juga selesai mengerjakannya.
                 
                   “Kamu sebenarnya bisa, nggak? Lama amat.” Kata dosen yang juga udah lumayan jenuh, padahal dari tadi dia main hp aja, gue yakin dia dari tadi dia habis wi-fi-an sambil nontonin vlog-nya Awkarin. Soalnya dari tadi ketawa-ketawa sendiri, sambil kumisnya pun ikut bergetar-getar. Gue yakin, kutu-kutu di kumisnya ngira itu kalau lagi ada gempa bumi.
                    “Nggak, pak.”
                    “Bukannya ngomong, mas, dari tadi. Ya udah sana duduk.”
                    “Makasih, pak.”

Akhirnya dia sendiri yang ngerjain soalnya, sambil menerangkannya kembali ke anak-anak. Satu langkah yang baik yang udah dilakukan si Rendy dengan mengulur waktu jam dosen killer ini. Tumben-tumbenan yang nggak bisa dibolehin duduk, fix ini dia lagi kesenangan karena habis nonton vlog-nya awkarin.

Selesai menerangkan pelajarannya, pas mau pulang, tanpa diduga ternyata dia mengecek kembali orang-orang yang hadir dari absennya, semua orang yang hadir dipanggil kembali sama dia lewat buku absennya tadi.

                     “Kok ini yang absen banyak banget, tapi yang hadir cuma sedikit?” Kata dosen, lalu menghitung orang yang hadir dan membandingkannya dengan yang ada di buku absenannya.  “Di sini ada 16 orang yang hadir, tapi aktualnya cuma ada 15 orang. Siapa ini yang melakukannya?”

Oh. My. God. I want to die right now. I want to kill my self. I did something stupid. Padahal sebelum-sebelumnya dia itu nggak pernah ngecekin orang yang ada di absenan itu, dan anak-anak yang lain pun sering kok ngelakuinnya. Tapi kenapa giliran sekalinya gue yang ngelakuin malah kena begini?

“Kalau tidak ada yang mengaku, akan saya panggil orangnya satu per satu.”
“Adam?”
“Hadir”
“Amel?”
“Hadir”
“Ebi?”
“Ebi?”
“Ebi nggak ada nih? Tapi kok di sini dia hadir ya? Hmmm… pulpennya biru.” Lalu dia melihat ke absen bawahnya. “Sama kayak Irpan. Irpan ada?” Ternyata yang hadir di sini cuma gue doang yang pakai pulpen biru. Dan bodohnya adalah…. gue nggak menyadarinya sama sekali. Seriously, I’m stupid af.

“Saya, pak.” Kata gue sambil menunjukkan tangan.
“Ini yang ngeabsenin Ebi kamu atau bukan?”
“Hehehehehe…”
“Oh jadi kamu ya selama ini pelakunya, kamu yang selama ini sering absenin orang-orang yang nggak masuk? Kamu saya hukum ya, mulai sekarang kamu harus…”
“Teeeeeeeeettttttt.” Tiba-tiba terdengar suara bel pulang.
“Udah bel, pak, saya pulang dulu, ya!” kata gue langsung lari meninggalkan kelas. Dengan tangan lurus menghadap ke belakang sambil melewatin teman-teman gue yang ngalangin jalan, gue lari secepat-cepatnya kayak Naruto yang lagi mengejar musuhnya. Gue harap sama seperti yang tadi, semoga minggu depan dia lupa dengan kejadian ini, kalau pun sampai minggu depan gue kena, Ebi yang harus tanggung jawab akan semua ini. Gue bakalan balas dendam, gue bakal diam-diam buka hp dia dan gue bakal youtube-an sampai dapet SMS dari operator kalau kuotanya habis. Hahahahaha.

Thanks god for the miracle.


Libur Lebaranku Kemarin

Hari ini aku libur kerja, sama seperti hari-hari sebelumnya, karena seluruh umat muslim di dunia baru saja melewati yang namanya idul fitri. Hari libur adalah hari yang paling disenangi oleh setiap orang yang bekerja di tempat orang lain, di mana kita bisa santai-santai sesuka yang kita mau. Tapi berbeda dengan ayahku, dia adalah orang yang paling gatal jika tidak ada aktivitas sama sekali. Mungkin, jika dia tidak ada kerjaan sama sekali, dia merasa badannya perih semua. Menjadi tidak bisa diam. Makanya, aku paling benci jika di saat aku libur kerja, ayahku juga libur kerja. Karena aku pasti ‘diajak’ untuk sibuk juga bersamanya. Di saat tidak ada kerjaan begini, dia pasti selalu pencari hal-hal yang perlu dikerjakan. Seperti merombak genteng rumah yang bocor, membuat meja, atau bahkan merenovasi rumah kami yang satunya. Kami ada rumah yang sampai sekarang pembangunannya baru sekitar 60%, bagian teras rumah dan bagian dapur masih menjadi PR yang harus dilakukan. Itu semua masih ditunda karena kesibukan kerja dan dana yang masih terus dikumpulkan.

“Ayo, fan, bantu masang paralon di rumah sana,” kata Ayah.

“Iya…” kataku yang masih belum tersadar sepenuhnya, padahal sudah jam 10 siang. Kasur ini masih terlalu sayang untuk kutinggalkan rasanya. Bantal-bantal seolah terus membisikkanku untuk terus bersamanya. Maklum, semalam aku baru bisa tidur sekitar pukul 2 subuh, jadi jam segini masih terlalu pagi bagiku. Tak lama kupejamkan kembali mataku, dan kembali tertidur.

“Hei! Hayoo, malah tidur lagi!” teriak Ayah yang mulai marah dengan kemalasanku.

“Udah, sih, hari libur itu waktunya buat santai-santai. Bukan malah kerja.” Kataku setengah sadar. Entah dari mana umpatan itu berasal. Kata yang bahkan membuatku setengah kaget setelah mengucapkannya. Seperti seekor singa yang tiba-tiba mengeluarkan raung-nya di saat ia merasa terancam.

“Libur waktunya santai? Ini juga kalau sudah jadi rumahnya buat kamu-kamu juga pas udah nikah nanti!” Ayah membalas.

Aku pun tersadar. Dan langsung segera beranjak dari sebuah ‘permen kasur’ ini, yang mana bisa selalu membuatku melekat dengan tubuhnya.

Aku harap, apa yang Ayahku ucapkan tadi tidak benar-benar terjadi. Karena aku sama sekali tidak ada niatan untuk tinggal di situ bersama istriku nanti. Bukannya menolak, tapi sebagai laki-laki, akan lebih bangga bila tinggal di rumah yang meskipun kecil tapi hasil keringat sendiri, dibanding rumah hasil pemberian dari orang tua.

Setelah itu, aku pun membantunya hingga langit mulai meredup, dan bintang mulai berganti shift dengan matahari. Malamnya, aku yang cukup kelelahan, iseng-iseng membuka hampir seluruh sosial media, mulai dari facebook, twitter, hingga berbalas pesan di whatsapp. Yang kulihat semuanya hampir sama, foto-foto unggahan dari orang-orang yang sehabis liburan di tempat-tempat favoritnya. Yang menurutku, ada empat tempat yang cukup sama dari orang-orang yang berlibur ini, yaitu:
1. Puncak
2. Pantai Anyer
3. Bandung
4. Jogja

Walaupun masih banyak tempat lain yang muncul, tapi ke-4 tempat itulah yang paling sering kutemui. Mereka berlibur bisa meng-share foto-foto hasil liburan mereka. Sedangkan aku, apa yang akan ku-upload? Foto-foto palu dan paku? Ataukah sebuah rumah yang belum jadi ini? paling yang bisa ku-share hanya lah foto dari selembar tiket bioskop yang habis kutonton kemarin. Tiket yang kujadikan alasan untuk pergi dari liburan yang melelahkan ini. Liburan yang di mana aku tidak bisa santai. Sebenarnya, aku sering mangkir dari tugas-tugas yang diberikan Ayah ini, dan lebih mementingkan untuk menonton film di rumah. Paling baru kujalani ketika Mamah juga sudah mulai menyuruh untuk membantu Ayah di rumah sana. Karena ketika Mamah sudah mulai menyuruh, mulutnya tidak akan pernah berhenti menyuruh sampai aku mengerjakannya. Yah, mungkin inilah pengisi liburanku kemarin. Tidak membuatku senang, tapi tidak juga membuatku kesal. Aku tidak iri kepada mereka yang liburan ke tempat-tempat wisata yang bagus. Karena makna sebenarnya dari liburan bagiku adalah ketika kita bisa meninggalkan dunia sebentar, dan bermain-main dengan dunia kita yang lain. Itu juga yang sudah kualami selama liburan ini, setiap siang, di saat aku mangkir dari tawaran Ayahku, aku bisa menghabiskan 2 film sekaligus, ditambah 1 film di malam harinya. Di malam harinya, biasanya aku begadang untuk main game, dan kadang menyisihkan waktu satu jam untuk menulis. Dengan begitu, aku sudah pergi ke duniaku yang lain. Aku sudah bisa melupakan kesetresan di dunia. Itu berarti, bukannya aku tidak liburan, tetapi hanya saja aku hanya merayakan hari libur ini dengan cara yang berbeda.

Film-film yang kutonton selama libur kurang lebih 1 minggu (Banyak banget, udah kayak nggak ada kerjaan lain, ya).

Mungkin karena aku yang sering mangkir karena selalu berpergian, akhirnya Ayahku memanggil tukang untuk mengerjakan rumah itu, yang kebetulan ia adalah teman dari tetanggaku, jadi bisa lebih cepat untuk menjadikannya. Malam itu, Ayah dan tetanggaku menyamperi rumah tukang itu dengan sepeda motor, entah apa yang sudah mereka bicarakan, yang jelas keesokan harinya ‘si Tukang’ itu sudah bisa bekerja untuk membantukku dan Ayahku merenovasi rumahnya.

Setelah beberapa hari bekerja, membeli bahan-bahan bangunan, sekaligus membayar tukang, Ayahku kekurangan duit untuk melanjutkannya, ia jatuh sakit tiba-tiba setelah membantu merenovasi rumah dan katanya setelah dia minum kopi. Lambungnya tiba-tiba menjadi perih yang luar biasa perihnya, keringat dingin tidak ada henti-hentinya keluar dari tubuhnya, Ayahku meronta-ronta kesakitan sambil menyebutkan lafadz-lafadz Allah, Mamah sedang tidak ada di rumah, ia sedang pergi bersama adikku entah ke mana, yang jelas ia tidak bisa kuhubungi. Di rumah hanya ada aku dan Ayah. Karena tidak tau apa yang harus kulakukan, melihat Ayah yang penuh dengan keringat dingin, aku hanya bisa mengipas-ngipasnya dengan buku seadanya, sambil sesekali kubawakan air putih hangat. Sekitar setengah jam kemudian, Mamahku baru sampai, dan aku langsung menjemputnya ke pintu, lalu ia berkata.

“Ada apa, fan, nelpon-nelpon?” tanya Mamah, sambil membawa sebuah kantung kresek hitam.
“Kalau dia tau aku dari tadi menelponnya, berarti dari tadi dia tidak mengangkatnya?” kataku dalam hati. Ah, sudahlah, ini bukan saat yang tepat untuk berdebat, yang jelas, Ayahku di kamar sekarang sedang merintih kesakitan. Aku haru segera memberitahunya.
“Itu dari tadi Ayah kesakitan perutnya, ditelpon-telpon malah nggak diangkat-angkat.” Kataku.
Tanpa aba-aba, Mamahku langsung berlari menuju kamar, memastikan apa yang sudah kuucapkan itu benar atau bohong. Ternyata benar, di kamar Ayahku masih tergeletak kesakitan dengan keringat yang masih terus mengalir deras. Tidak lama setelah datangnya Mamahku, Ayahku perlahan-lahan mulai membaik, hingga sore. Dan malamnya kami bersepakat untuk mengeceknya ke dokter.
Aneh, padahal selama yang kutahu, Ayahku tidak ada sama sekali riwayat mengenai lambung, makannya juga terbilang teratur, minum air putih juga tidak pernah melanggar aturan. Tapi kata dokter saat itu dia lambungnya kena. Aneh. Entahlah.

Mungkin, karena memikirkan biaya untuk merenovasi rumah itu, jadinya dia juga menjadi jatuh sakit. Karena menurut ilmu psikologi yang pernah kubaca, orang yang banyak pikiran itu metabolisme tubuhnya bisa jauh menurun, sehingga bisa lebih mudah diserang penyakit. Karena itu aku kepikiran untuk membantu dana yang Ayah keluarkan, hasil dari duit yang aku tabung saat kerja. Tidak begitu banyak, tapi bisa cukup membantuk menaikkan sedikit ujung mulut kedua orangtuaku, aku sangat senang. Tak apa duitku habis, selama orang-orang yang kusayang masih bisa tersenyum dan selalu tersenyum. Akhirnya saat itu juga, aku langsung meng-transfer duit di atm-ku ke no. rekening Ayahku, dan beberapa hari setelah itu, Ayahku kembali pulih dan sehat kembali, karena ia beberapa hari tidak bisa masuk kerja lantaran anjuran dokter untuk istirahat sebanyak-banyaknya.


Dan ini rumah di sana yang ladi direnovasi, lumayan bisa bantu sedikit-sedikit..

Gambar dari depan rumah.
Gambar ruang tengah yang berantakan banget.

Gambar dapur yang udah lumayan jadi.

Salah Satu Cara Agar Indonesia Bebas Dari Korupsi

Menurut gue, Indonesia itu kekurangan orang jujur bukan kekurangan orang pintar. Di Indonesia, orang pintar itu bejibun. Setiap tahunnya selalu bertambah. Apalagi yang cuma lulusan SMA, ada jutaan orang lulus setiap tahunnya. Yang lulusan S1, jaman sekarang pun udah bakalan susah nyari kerjanya. Saking banyaknya, menurut tetangga gue, katanya, lulusan S1 sekarang yang mau menjadi PNS aja IPK-nya minimal harus 3.8, dan itu kampusnya harus terakreditasi B. Buset dah, yang mau jadi PNS dan IPK-nya harus segitu. Kenapa nggak sekalian IPK-nya harus 4.0 aja, sih?!

Lagian kalau pun misalkan gue punya IPK segitu, gue mendingan ngejar beasiswa sekalian, beasiswa yang untuk kuliah di luar negeri kalau perlu. Ngapain malah melamar jadi PNS? Tapi sayangnya IPK gue nggak bisa segitu. Untuk mendapatkan IPK di atas 3.0 aja gue harus rela kurang tidur, kurang makan, waktu merindu pun harus dibagi-bagi sama belajar, saking udah fokusnya belajar. Maklum, sistem kebut semalam. Ampuh banget buat gue belajar sekaligus bikin otak stress.

Ok, kembali lagi ke kalimat pertama di atas, Indonesia itu kekurangan orang jujur, bukan kekurangan orang pintar. Di Indonesia itu banyak orang pintar, tapi apakah udah bersih dari yang namanya korupsi? Emang pejabat-pejabat yang korupsi itu orang yang cuma lulusan SD? Nggak, mereka itu punya gelar semua, bahkan sampai berderet gelar di belakangnya sampai-sampai kalau nama dia dipanggil secara lengkap, bakal ngehabisin waktu setengah jam sendiri. Ditambah lagi kalau semua anggota-anggotanya diabsenin satu-satu dengan cara dipanggil, gue yakin orang yang nyebutin namanya mulutnya langung berbusa.

Menurut gue, semua itu karena sistem pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan nilai daripada proses ‘bagaimana untuk mendapatkan nilai tersebut’. Kadang, seorang dosen ataupun guru tidak peduli kenapa si anak bisa mendapatkan jawaban yang benar kayak begitu. Yang dia tahu hanyalah, si anak tersebut bisa mendapatkan nilai yang bagus, dan meng-claim dirinya sendiri kalau sistem mengajarnya sudah benar. Padahal, saat ulangan berlangsung, dia keluar kelas setiap 5 menit sekali yang mana malah memebuat enak para siswa yang lagi ujian. Lagian contek-mencontek dalam ulangan itu wajar kok, orang yang dicari itu nilai. Jadi wajar aja bakal banyak anak yang menghalalkan segala cara biar nilai dia bagus. Karena gue pun mungkin bakal melakukan hal itu. Karena setiap gue ulangan, hal-hal yang udah gue pelajari, pas ulangan gue malah lupa dengan apa yang gue baca semalam, atau hal-hal yang gue pelajari di rumah, pas ulangan malah soalnya nggak keluar alias beda. Dan di saat elu nggak bisa jawab, elu nggak tau jawabannya apa, lalu ada teman sebangku lo yang udah selesai soal itu, dan dia juga bersedia ngasih tau jawabannya ke elo. Apakah elo bakal menolaknya? Kalau gue sih nggak bakal, nggak munafik juga, karena seperti yang gue bilang tadi, kan yang dicari nilai siapa yang paling besar, bukan dapat dari mana nilai besar tersebut didapat.

Kalau misalkan gue jadi guru suatu hari nanti, sistem belajar gue bukan siapa yang nilainya gede, lalu dapat nilai A, tapi siapa yang ngerjainnya paling jujur, walaupun nilainya kecil, gue bakal ngasih dia nilai A. Dengan cara, di setiap meja bakalan gue kasih CCTV. Setiap meja loh, ya, bukan setiap ruangan. Lalu gue mengadakan ulangannya itu di bulan puasa, dan di atas soal gue tulisin dengan huruf kapital dan semua kalimatnya gue bold, “INGAT, INI BULAN PUASA, YANG MENCONTEK PUASANYA BATAL.” Dengan begitu, gue yakin nilainya adalah hasil dari otak mereka sendiri, bukan dari jawaban orang lain.

Karena enggak apa-apa mau si murid nggak bisa jawab juga, toh yang dicari kan bukan nilai. Tapi kejujuran.

“Terus bagaimana cara menilainya kalau semua anak nilainya 0?”
“Nah, dengan segala cara penerapan yang udah gue jelasin tadi di atas, baru nilai di sini berlaku. Jadi semakin besar nilainya, maka semakin besar juga angka yang bakalan gue kasih. Misalkan ada anak yang nilainya paling tinggi adalah 3, makanya yang nilainya 3 itu bakalan gue kasih A. begitu seterusnya.”

Lagian, dari yang udah-udah, orang-orang yang IPK-nya tinggi-tinggi, lulusan-lulusan terbaik, hasilnya korupsi-korupsi juga ‘kan? Makanya, mending sekarang lebih mentingin gimana caranya mendidik anak menjadi seorang yang jujur, daripada menjadi anak yang pintar. Karena kepintaran itu gampang buat diraih, asalkan dia minat dengan apa yang dipelajarinya. Semua anak itu jenius, tapi, mereka beda-beda bidang kejeniusannya di mana. Nggak ada anak yang bisa semua mata pelajaran, pasti aja ada beberapa yang dia nggak bisa. Beda dengan kejujuran, kalau nggak dibiasakan dari kecil, sampai besar pun dia bakalan sering dan akhirnya keterusan untuk ngga jujur.
Jadi intinya adalah Indonesia harus mengedepankan pendidikan akan kejujuran, dengan cara membiasakannya pada mereka sedari kecil, dibanding mengedepankan membuat anak-anak yang pintar.




Oke, segitu dulu dari saya. Mohon diambil hal-hal baiknya, dan pikir kan yang buruk-buruknya, siapa tau itu adalah hal yang juga baik tapi hanya salah dalam hal mengambil sudut pandang. Terimakasih. Salam dari saya, Calon Presiden Indonesia 2030.

Masalah Pas Bukber

Puasa tahun ini gue udah beberapa kali ikut bukber, mulai dari teman-teman pas sekolah dulu, sampai teman-teman yang masih sering ketemu sekarang. Tapi, setiap kali bukber, selalu ketemu dengan kekurangan sama. Yaitu: tempatnya gak ada tempat untuk shalatnya.

Setiap kali ada yang buka bersama, otomatis kan mayoritas orangnya adalah orang muslim, wich is kita itu selain diwajibkan berpuasa, juga diwajibkan untuk shalat. Karena puasa tanpa shalat itu ibarat mengisi ember dengan air, tapi embernya bocor. Ya percuma. Dua-duanya adalah kewajiban, dan dua-duanya harus baik. Makanya dua-duanya harus sama-sama dilakukan. Begitu.

Sebentar-sebentar gue benerin sarung gue melorot nih...

Oke, lanjut.

Contohnya pas kemarin, gue buka bersama bareng teman-teman dari tempat kerja di daerah Cimone. Tempat dan pelayanan yang menurut gue buruk banget, kayak nggak siap untuk menampung pelanggan yang ramai. Mungkin, sebelum-sebelumnya, tempat makan ini itu selalu sepi pengunjung, jadi nggak terlalu mempersiapkan semuanya. Pas begitu bulan puasa, tiba-tiba terjadi lonjakan pengunjung yang cukup tinggi. Hasilnya, mereka malah kayak anak SD yang tiba-tiba dikasih ulangan soal buat anak SMA. Jadi kelabakan. Pelayanan mereka itu lambat banget, dari gue datang jam 17.30, sampai udah mau jam 19.00, makanan belum juga semuanya kebagian. Dari total sekitar 40 orang yang hadir.

“Ya, wajar aja, mereka kan juga buka puasa kali, masih untung mau dilayanin.”

Ya, gue ngerti, sangat memahami itu. Tapi, dalam pekerjaan itu ada yang namanya profesionalitas, gak peduli bagaimanapun elo, ya lo harus kerja sesuai dengan apa yang diminta sama “yang bayar” elo. Contohnya nih, lu adalah seorang penyanyi, lagu-lagu lu adalah lagu bahagia semua, otomatis pembawaan dipanggungnya juga harus bahagia, biar nyambung sama lagu yang dibawain. Sedangkan beberapa jam sebelumnya, lu baru aja diputusin sama pacar lu yang tinggal seminggu lagi menikah. Semua udah terlanjur terjadi, udah ada perjanjian kerja, nggak bisa dibatalin begitu aja, akhirnya lo harus tetap bernyanyi dengan pembawaan yang nyambung dengan lagunya. Itu baru namanya profesional. Tapi, untuk yang ini, ya udahlah ya, gue mencoba memaklumi masalahnya.

Dan yang kedua, dari segi tempat. Tempatnya itu kayak dalam sebuah ruangan, yang cukup luas, dan kayak hampir semua restoran-restoran pada umumnya. Mejanya memanjang, ada beberapa meja yang disambung-sambung ke samping. Yang bikin gue kecewa di tempat ini adalah saking panjangnya meja, akhirnya saling berdempetan sama meja-meja pengunjung lain, bangku-bangkunya pun saling berlawanan arah, cuma ada jarak sekitar 5 sentimeter antar bangku, jadi buat keluar-masuk itu susah banget. Harus nyuruh teman di samping untuk keluar dulu, baru kitanya bisa keluar. Bayangin aja, dengan jarak antar bangku yang sekecil itu mana ada orang yang bisa masuk. Mungkin si pemilik restorannya mengira kalau kita semua adalah amoeba, punya kemampuan untuk membelah diri. Jadi pas ada tempat yang kita nggak muat, tinggal membelah diri aja menjadi kecil, terus disambung lagi. Asal setelahnya jangan salah nyambungin diri aja, pas udah disambungin ternyata ketuker sama orang lain, seorang cowok dan cewek ketuker setengah-setengah badannya. Jadi manusia setengah jakun. Manusia yang cuma punya jakun setengah doang.

Udah begitu, berhubung makanannya lama banget datangnya, sambil menunggu akhirnya gue memutuskan buat ke mushalla dulu, gue ngikutin tag yang bertuliskan "Mushalla" yang ada di restoran. Tempatnya ada di paling pojok resotran, tepat deket parkiran. Dan pas gue tiba di tempatnya, ternyata tempatnya itu kecil banget. Sekitar 2x4 meter. Jadinya gue harus menunggu gantian yang udah shalat duluan. Pas udah gantian, gue shalat bareng ibu-ibu, dan satu temen gue, cowok. Dan untuk pertama kalinya, gue shalat sejajar sama cewek. Lalu teman gue itu nyeletuk. "Wey, shalat begini emang boleh?"

"Udah lah, adanya juga begini, Allah juga mungkin bakalan ngerti."

Akhirnya kami shalat bersejajar sama ibu-ibu.


Jadi, saran gue adalah mending dari jauh-jauh hari segala sesuatunya itu dipersiapkan, bukan hanya soal makanan, tapi dari segi tempat dan fasilitas. Kalau perlu, dari sehabis lebaran kayak begini semuanya itu udah mulai dipersiapkan. Biar pelanggan makin puas.

Ngomong-ngomong, ini ada foto pas gue bukber kemarin.

Coba bayangin, kalau udah begini gimana cara keluar dari bangkunya coba?

Ebi: Jadiin Lawan

             

Ebi adalah mahasiswa fakultas hukum di salah satu universitas di Jakarta, ia sekarang sudah semester 4, kehidupan Ebi juga terbilang cukup baik, karena mengingat orangtuanya sanggup membiayai kuliahnya di Universitas yang cukup besar. Padahal, sehari-hari orangtuanya hanya menjadi agen warung di pasar. IPK Ebi di semester satu sangatlah buruk, hanya satu matakuliah saja yang mendapat nilai D, sisanya mendapat E. Karena Ebi adalah orang yang pemalu di kelas, malu untuk maju ke depan, malu untuk bertanya, malu untuk menjawab sesuatu yang ia tahu jika ada dosen yang bertanya, sekalipun di kelas itu hanya dia yang mengetahui jawabannya. Saking pemalunya Ebi, bahkan saat ia menyebrang jalan saat lampu merah pun, dia berasa sedang diliatin sama orang-orang, dan lalu ia menundukkan kepala. Tapi, Ebi termasuk orang yang rajin masuk kelas, absennya tidak pernah ada yang bolong.
                Ebi juga menyukai Surti, teman kampusnya sejak ia semester satu, tetapi dia tidak berani mengungkapkannya. Ebi takut terlihat bodoh, Ebi takut kalau putus nanti, kuliahnya malah menjadi hancur. Jadi, Ebi lebih memilihnya hanya untuk menjadi teman, karena bisa dekat dan bisa mengobrol dengannya, itu sudah lebih dari cukup baginya.
Suatu hari, Ebi merasa jenuh dengan hidupnya, rutinitasnya hanya kuliah-pulang-lupa pelajarannya-kangen Surti. Begitu terus, sampai akhirnya dia bilang ke Mamahnya.
                “Mah, Ebi udah nggak kuat deh kuliah,” kata Ebi sambil mencari kutu Mamahnya itu, “Setiap hari belajar terus, tapi gak ada satu pun yang nyangkut di otak, percuma, cuma buang-buang duit sama waktu doang.”
                “Terus mau kamunya gimana?” tanya Mamahnya.
                “Ebi mau resign aja, mau mencari kerja, ngumpulin duit, terus buka usaha aja.”
                “Terus, kalau kamu kerja hanya bermodal nekat saja, tanpa punya bakat apalagi gelar, emang kamu akan cepat punya duit buat buka usaha? Lagian, buka usaha itu juga butuh ilmu, gak hanya ‘yang penting punya modal’ saja.”
                Ebi mematung.
                “Kamu punya seseorang yang kamu suka nggak di kampus?” tanya Mamah.
                “Mmmm… punya.”raut muka Ebi berubah menjadi sedikit pucat.
                “Apa dia yang menjadi beban kamu pas lagi ngampus?”
                “Enggak. Justru dia yang bikin Ebi rajin, Mah, berasanya pengen ketemu dia setiap hari. Kalau udah di rumah, suka kepikiran, terus kangen, padahal baru aja sejam yang lalu ketemu. Hehe.”
                “Kalau begitu, kamu tinggal deketin aja dia, jadikan dia motivasi belajarmu, jadiin dia lawan belajarmu, jadikan juga dia sebagai alasan kamu harus tetap kuliah.”
                “Kok begitu?” Ebi terdiam. Kutu yang baru saja ia dapat, kabur seketika.
                “Seseorang merasa bosan, biasanya karena udah berkurangnya motivasi dalam dirinya, kalau dia punya alasan kembali untuk melakukan itu, apalagi alasanya sangat kuat, dia bakalan kembali mengejarnya, bahkan lebih semangat dari yang sebelumnya dia lakukan. Papah kamu juga dulu melakukan itu, makanya kamu sekarang ada.”
                “Jadi, aku harus gimana?” Kata Ebi yang gak juga mengerti.
                Mamahnya menghembuskan nafas, mencoba tetap sabar, “Jadiin dia ‘lawan’ belajarmu.”
                “Oh…. Oke, deh, aku bakal lakuin itu besok.” Ebi mengangguk.

Keesokan harinya.
                Ebi pulang dengan wajah tertekuk, rambutnya berantakan, kupingnya merah. Ibunya yang sedang menonton tv sontak bertanya. “Kamu kenapa, Bi?”
                
               “Gara-gara Mamah kemarin, jadinya aku dipanggil sama rektor untuk ke kantornya,” Ebi langsung membantingkan tubuhnya ke sofa, “Aku habis dimarahin.”
                “Lho, kok, gara-gara Mamah? Memangnya kamu habis ngapain?”
                “Iya, kan, kemarin kata Mamah, aku itu harus ngejadiin gebetan aku itu sebagai lawan aku,”
                “Lalu?” Tanya Mamah penasaran.
                “Ya udah, aku tonjok aja dia. Eh, malah dibawa ke kantor buat dikasih SP.”
                Mamah diam sejenak, lalu berkata.
    “Gak apa-apa, ini semua salah Mama.”
                “Maksudnya, Mah?”
                “Iya, salah Mamah, dulu pas Mamah lagi mengandung kamu, Mamah hobi banget ngemilin mecin. Mecin malah jadi makanan sehari-hari Mamah waktu itu. Akhirnya begini deh. Maaf, ya, Mamah menyesal.”
                “I… iya, Mah.” Ebi masih tetap bingung.
                Mamah pergi.
                “Mau kemana, Mah?” tanya Ebi.
                “Mau buangin mecin dulu di dapur, kayaknya mulai sekarang Mamah kalau masak nggak bakal pakai mecin lagi deh.”
                “Oh… Oke….”