WHAT'S NEW?
Loading...

Libur Lebaranku Kemarin

Hari ini aku libur kerja, sama seperti hari-hari sebelumnya, karena seluruh umat muslim di dunia baru saja melewati yang namanya idul fitri. Hari libur adalah hari yang paling disenangi oleh setiap orang yang bekerja di tempat orang lain, di mana kita bisa santai-santai sesuka yang kita mau. Tapi berbeda dengan ayahku, dia adalah orang yang paling gatal jika tidak ada aktivitas sama sekali. Mungkin, jika dia tidak ada kerjaan sama sekali, dia merasa badannya perih semua. Menjadi tidak bisa diam. Makanya, aku paling benci jika di saat aku libur kerja, ayahku juga libur kerja. Karena aku pasti ‘diajak’ untuk sibuk juga bersamanya. Di saat tidak ada kerjaan begini, dia pasti selalu pencari hal-hal yang perlu dikerjakan. Seperti merombak genteng rumah yang bocor, membuat meja, atau bahkan merenovasi rumah kami yang satunya. Kami ada rumah yang sampai sekarang pembangunannya baru sekitar 60%, bagian teras rumah dan bagian dapur masih menjadi PR yang harus dilakukan. Itu semua masih ditunda karena kesibukan kerja dan dana yang masih terus dikumpulkan.

“Ayo, fan, bantu masang paralon di rumah sana,” kata Ayah.

“Iya…” kataku yang masih belum tersadar sepenuhnya, padahal sudah jam 10 siang. Kasur ini masih terlalu sayang untuk kutinggalkan rasanya. Bantal-bantal seolah terus membisikkanku untuk terus bersamanya. Maklum, semalam aku baru bisa tidur sekitar pukul 2 subuh, jadi jam segini masih terlalu pagi bagiku. Tak lama kupejamkan kembali mataku, dan kembali tertidur.

“Hei! Hayoo, malah tidur lagi!” teriak Ayah yang mulai marah dengan kemalasanku.

“Udah, sih, hari libur itu waktunya buat santai-santai. Bukan malah kerja.” Kataku setengah sadar. Entah dari mana umpatan itu berasal. Kata yang bahkan membuatku setengah kaget setelah mengucapkannya. Seperti seekor singa yang tiba-tiba mengeluarkan raung-nya di saat ia merasa terancam.

“Libur waktunya santai? Ini juga kalau sudah jadi rumahnya buat kamu-kamu juga pas udah nikah nanti!” Ayah membalas.

Aku pun tersadar. Dan langsung segera beranjak dari sebuah ‘permen kasur’ ini, yang mana bisa selalu membuatku melekat dengan tubuhnya.

Aku harap, apa yang Ayahku ucapkan tadi tidak benar-benar terjadi. Karena aku sama sekali tidak ada niatan untuk tinggal di situ bersama istriku nanti. Bukannya menolak, tapi sebagai laki-laki, akan lebih bangga bila tinggal di rumah yang meskipun kecil tapi hasil keringat sendiri, dibanding rumah hasil pemberian dari orang tua.

Setelah itu, aku pun membantunya hingga langit mulai meredup, dan bintang mulai berganti shift dengan matahari. Malamnya, aku yang cukup kelelahan, iseng-iseng membuka hampir seluruh sosial media, mulai dari facebook, twitter, hingga berbalas pesan di whatsapp. Yang kulihat semuanya hampir sama, foto-foto unggahan dari orang-orang yang sehabis liburan di tempat-tempat favoritnya. Yang menurutku, ada empat tempat yang cukup sama dari orang-orang yang berlibur ini, yaitu:
1. Puncak
2. Pantai Anyer
3. Bandung
4. Jogja

Walaupun masih banyak tempat lain yang muncul, tapi ke-4 tempat itulah yang paling sering kutemui. Mereka berlibur bisa meng-share foto-foto hasil liburan mereka. Sedangkan aku, apa yang akan ku-upload? Foto-foto palu dan paku? Ataukah sebuah rumah yang belum jadi ini? paling yang bisa ku-share hanya lah foto dari selembar tiket bioskop yang habis kutonton kemarin. Tiket yang kujadikan alasan untuk pergi dari liburan yang melelahkan ini. Liburan yang di mana aku tidak bisa santai. Sebenarnya, aku sering mangkir dari tugas-tugas yang diberikan Ayah ini, dan lebih mementingkan untuk menonton film di rumah. Paling baru kujalani ketika Mamah juga sudah mulai menyuruh untuk membantu Ayah di rumah sana. Karena ketika Mamah sudah mulai menyuruh, mulutnya tidak akan pernah berhenti menyuruh sampai aku mengerjakannya. Yah, mungkin inilah pengisi liburanku kemarin. Tidak membuatku senang, tapi tidak juga membuatku kesal. Aku tidak iri kepada mereka yang liburan ke tempat-tempat wisata yang bagus. Karena makna sebenarnya dari liburan bagiku adalah ketika kita bisa meninggalkan dunia sebentar, dan bermain-main dengan dunia kita yang lain. Itu juga yang sudah kualami selama liburan ini, setiap siang, di saat aku mangkir dari tawaran Ayahku, aku bisa menghabiskan 2 film sekaligus, ditambah 1 film di malam harinya. Di malam harinya, biasanya aku begadang untuk main game, dan kadang menyisihkan waktu satu jam untuk menulis. Dengan begitu, aku sudah pergi ke duniaku yang lain. Aku sudah bisa melupakan kesetresan di dunia. Itu berarti, bukannya aku tidak liburan, tetapi hanya saja aku hanya merayakan hari libur ini dengan cara yang berbeda.

Film-film yang kutonton selama libur kurang lebih 1 minggu (Banyak banget, udah kayak nggak ada kerjaan lain, ya).

Mungkin karena aku yang sering mangkir karena selalu berpergian, akhirnya Ayahku memanggil tukang untuk mengerjakan rumah itu, yang kebetulan ia adalah teman dari tetanggaku, jadi bisa lebih cepat untuk menjadikannya. Malam itu, Ayah dan tetanggaku menyamperi rumah tukang itu dengan sepeda motor, entah apa yang sudah mereka bicarakan, yang jelas keesokan harinya ‘si Tukang’ itu sudah bisa bekerja untuk membantukku dan Ayahku merenovasi rumahnya.

Setelah beberapa hari bekerja, membeli bahan-bahan bangunan, sekaligus membayar tukang, Ayahku kekurangan duit untuk melanjutkannya, ia jatuh sakit tiba-tiba setelah membantu merenovasi rumah dan katanya setelah dia minum kopi. Lambungnya tiba-tiba menjadi perih yang luar biasa perihnya, keringat dingin tidak ada henti-hentinya keluar dari tubuhnya, Ayahku meronta-ronta kesakitan sambil menyebutkan lafadz-lafadz Allah, Mamah sedang tidak ada di rumah, ia sedang pergi bersama adikku entah ke mana, yang jelas ia tidak bisa kuhubungi. Di rumah hanya ada aku dan Ayah. Karena tidak tau apa yang harus kulakukan, melihat Ayah yang penuh dengan keringat dingin, aku hanya bisa mengipas-ngipasnya dengan buku seadanya, sambil sesekali kubawakan air putih hangat. Sekitar setengah jam kemudian, Mamahku baru sampai, dan aku langsung menjemputnya ke pintu, lalu ia berkata.

“Ada apa, fan, nelpon-nelpon?” tanya Mamah, sambil membawa sebuah kantung kresek hitam.
“Kalau dia tau aku dari tadi menelponnya, berarti dari tadi dia tidak mengangkatnya?” kataku dalam hati. Ah, sudahlah, ini bukan saat yang tepat untuk berdebat, yang jelas, Ayahku di kamar sekarang sedang merintih kesakitan. Aku haru segera memberitahunya.
“Itu dari tadi Ayah kesakitan perutnya, ditelpon-telpon malah nggak diangkat-angkat.” Kataku.
Tanpa aba-aba, Mamahku langsung berlari menuju kamar, memastikan apa yang sudah kuucapkan itu benar atau bohong. Ternyata benar, di kamar Ayahku masih tergeletak kesakitan dengan keringat yang masih terus mengalir deras. Tidak lama setelah datangnya Mamahku, Ayahku perlahan-lahan mulai membaik, hingga sore. Dan malamnya kami bersepakat untuk mengeceknya ke dokter.
Aneh, padahal selama yang kutahu, Ayahku tidak ada sama sekali riwayat mengenai lambung, makannya juga terbilang teratur, minum air putih juga tidak pernah melanggar aturan. Tapi kata dokter saat itu dia lambungnya kena. Aneh. Entahlah.

Mungkin, karena memikirkan biaya untuk merenovasi rumah itu, jadinya dia juga menjadi jatuh sakit. Karena menurut ilmu psikologi yang pernah kubaca, orang yang banyak pikiran itu metabolisme tubuhnya bisa jauh menurun, sehingga bisa lebih mudah diserang penyakit. Karena itu aku kepikiran untuk membantu dana yang Ayah keluarkan, hasil dari duit yang aku tabung saat kerja. Tidak begitu banyak, tapi bisa cukup membantuk menaikkan sedikit ujung mulut kedua orangtuaku, aku sangat senang. Tak apa duitku habis, selama orang-orang yang kusayang masih bisa tersenyum dan selalu tersenyum. Akhirnya saat itu juga, aku langsung meng-transfer duit di atm-ku ke no. rekening Ayahku, dan beberapa hari setelah itu, Ayahku kembali pulih dan sehat kembali, karena ia beberapa hari tidak bisa masuk kerja lantaran anjuran dokter untuk istirahat sebanyak-banyaknya.


Dan ini rumah di sana yang ladi direnovasi, lumayan bisa bantu sedikit-sedikit..

Gambar dari depan rumah.
Gambar ruang tengah yang berantakan banget.

Gambar dapur yang udah lumayan jadi.

Salah Satu Cara Agar Indonesia Bebas Dari Korupsi

Menurut gue, Indonesia itu kekurangan orang jujur bukan kekurangan orang pintar. Di Indonesia, orang pintar itu bejibun. Setiap tahunnya selalu bertambah. Apalagi yang cuma lulusan SMA, ada jutaan orang lulus setiap tahunnya. Yang lulusan S1, jaman sekarang pun udah bakalan susah nyari kerjanya. Saking banyaknya, menurut tetangga gue, katanya, lulusan S1 sekarang yang mau menjadi PNS aja IPK-nya minimal harus 3.8, dan itu kampusnya harus terakreditasi B. Buset dah, yang mau jadi PNS dan IPK-nya harus segitu. Kenapa nggak sekalian IPK-nya harus 4.0 aja, sih?!

Lagian kalau pun misalkan gue punya IPK segitu, gue mendingan ngejar beasiswa sekalian, beasiswa yang untuk kuliah di luar negeri kalau perlu. Ngapain malah melamar jadi PNS? Tapi sayangnya IPK gue nggak bisa segitu. Untuk mendapatkan IPK di atas 3.0 aja gue harus rela kurang tidur, kurang makan, waktu merindu pun harus dibagi-bagi sama belajar, saking udah fokusnya belajar. Maklum, sistem kebut semalam. Ampuh banget buat gue belajar sekaligus bikin otak stress.

Ok, kembali lagi ke kalimat pertama di atas, Indonesia itu kekurangan orang jujur, bukan kekurangan orang pintar. Di Indonesia itu banyak orang pintar, tapi apakah udah bersih dari yang namanya korupsi? Emang pejabat-pejabat yang korupsi itu orang yang cuma lulusan SD? Nggak, mereka itu punya gelar semua, bahkan sampai berderet gelar di belakangnya sampai-sampai kalau nama dia dipanggil secara lengkap, bakal ngehabisin waktu setengah jam sendiri. Ditambah lagi kalau semua anggota-anggotanya diabsenin satu-satu dengan cara dipanggil, gue yakin orang yang nyebutin namanya mulutnya langung berbusa.

Menurut gue, semua itu karena sistem pendidikan di Indonesia yang lebih mementingkan nilai daripada proses ‘bagaimana untuk mendapatkan nilai tersebut’. Kadang, seorang dosen ataupun guru tidak peduli kenapa si anak bisa mendapatkan jawaban yang benar kayak begitu. Yang dia tahu hanyalah, si anak tersebut bisa mendapatkan nilai yang bagus, dan meng-claim dirinya sendiri kalau sistem mengajarnya sudah benar. Padahal, saat ulangan berlangsung, dia keluar kelas setiap 5 menit sekali yang mana malah memebuat enak para siswa yang lagi ujian. Lagian contek-mencontek dalam ulangan itu wajar kok, orang yang dicari itu nilai. Jadi wajar aja bakal banyak anak yang menghalalkan segala cara biar nilai dia bagus. Karena gue pun mungkin bakal melakukan hal itu. Karena setiap gue ulangan, hal-hal yang udah gue pelajari, pas ulangan gue malah lupa dengan apa yang gue baca semalam, atau hal-hal yang gue pelajari di rumah, pas ulangan malah soalnya nggak keluar alias beda. Dan di saat elu nggak bisa jawab, elu nggak tau jawabannya apa, lalu ada teman sebangku lo yang udah selesai soal itu, dan dia juga bersedia ngasih tau jawabannya ke elo. Apakah elo bakal menolaknya? Kalau gue sih nggak bakal, nggak munafik juga, karena seperti yang gue bilang tadi, kan yang dicari nilai siapa yang paling besar, bukan dapat dari mana nilai besar tersebut didapat.

Kalau misalkan gue jadi guru suatu hari nanti, sistem belajar gue bukan siapa yang nilainya gede, lalu dapat nilai A, tapi siapa yang ngerjainnya paling jujur, walaupun nilainya kecil, gue bakal ngasih dia nilai A. Dengan cara, di setiap meja bakalan gue kasih CCTV. Setiap meja loh, ya, bukan setiap ruangan. Lalu gue mengadakan ulangannya itu di bulan puasa, dan di atas soal gue tulisin dengan huruf kapital dan semua kalimatnya gue bold, “INGAT, INI BULAN PUASA, YANG MENCONTEK PUASANYA BATAL.” Dengan begitu, gue yakin nilainya adalah hasil dari otak mereka sendiri, bukan dari jawaban orang lain.

Karena enggak apa-apa mau si murid nggak bisa jawab juga, toh yang dicari kan bukan nilai. Tapi kejujuran.

“Terus bagaimana cara menilainya kalau semua anak nilainya 0?”
“Nah, dengan segala cara penerapan yang udah gue jelasin tadi di atas, baru nilai di sini berlaku. Jadi semakin besar nilainya, maka semakin besar juga angka yang bakalan gue kasih. Misalkan ada anak yang nilainya paling tinggi adalah 3, makanya yang nilainya 3 itu bakalan gue kasih A. begitu seterusnya.”

Lagian, dari yang udah-udah, orang-orang yang IPK-nya tinggi-tinggi, lulusan-lulusan terbaik, hasilnya korupsi-korupsi juga ‘kan? Makanya, mending sekarang lebih mentingin gimana caranya mendidik anak menjadi seorang yang jujur, daripada menjadi anak yang pintar. Karena kepintaran itu gampang buat diraih, asalkan dia minat dengan apa yang dipelajarinya. Semua anak itu jenius, tapi, mereka beda-beda bidang kejeniusannya di mana. Nggak ada anak yang bisa semua mata pelajaran, pasti aja ada beberapa yang dia nggak bisa. Beda dengan kejujuran, kalau nggak dibiasakan dari kecil, sampai besar pun dia bakalan sering dan akhirnya keterusan untuk ngga jujur.
Jadi intinya adalah Indonesia harus mengedepankan pendidikan akan kejujuran, dengan cara membiasakannya pada mereka sedari kecil, dibanding mengedepankan membuat anak-anak yang pintar.




Oke, segitu dulu dari saya. Mohon diambil hal-hal baiknya, dan pikir kan yang buruk-buruknya, siapa tau itu adalah hal yang juga baik tapi hanya salah dalam hal mengambil sudut pandang. Terimakasih. Salam dari saya, Calon Presiden Indonesia 2030.