WHAT'S NEW?
Loading...

Yang Cowok Butuhkan Dari Cewek


Sebagai manusia, emang kita itu nggak boleh yang namanya kepengen dipuji. Karena yang layak untuk dipuji hanyalah Allah SWT. Tapi, yang namanya manusia itu kadang haus banget sama yang namanya pujian. Terutama cowok. Cowok itu seneng banget kalau dia dipuji dari apapun yang habis dia lakukan. Karena berasa banget ada yang mengapresiasinya.

“Beri ego kami makan, maka akan kubalas kamu dengan perhatian.” – Unknows artist.

Makanya, cewek kadang suka salah persepsi. Mungkin karena dia suka diperhatiin, pas dia suka sama cowok, dia juga suka ngasih perhatian ke cowok. Padahal, cowok nggak butuh-butuh banget perhatian. Kayak “lagi apa?”, “Udah makan belum?”, dll. Ya, walaupun pertanyaan-pertanyaan itu kadang masih harus dipakai sih buat kalian yang masih kangen tapi udah nggak tau mau bahas apaan lagi. Tapi kadang, cowok pun masih suka ngelakuinnya. Karena kadang, kangen itu nggak butuh ketemu, nggak butuh ngobrol, cuma butuh kabar aja, dengan chattingan haha-hihi gak jelas. Akhirnya rindu pun terbalas.

Jadi, nih, ya, puji aja dulu apa yang dilakuin sama cowok yang lo suka, gue jamin cowok manapun bisa aja lo dapetin. Misalkan dia hobinya masak, terus dia ngasih makanan itu ke elo buat nyicipin, puji aja kayak “Makanannya enak banget. Kok lo jago banget sih masaknya?”, gue jamin, setelah lo ngomong begitu, muka dia langsung memerah karena kesenengan. Ya walaupun setelah nyobain itu lo harus koma 3 hari gara-gara makanannya, gakpapa, untuk mendapatkan sesuatu kan butuh perjuangan dan pengorbanan. Atau kalau lo habis nonton dia main futsal, puji aja dia, walaupun dia mainnya kayak ayam yang baru aja digorok terus dilepasin sama abangnya, gerak-gerak nggak jelas gitu. Kayak gue nih, gue seneng banget kalau ada yang muji gue. Nggak munafik lah. Haha. Namanya juga cowok. Tapi, setelah dipuji kadang juga suka mikir, “Segala sesuatu kan suka ada plus dan minusnya, yang dia omongin plusnya doang, dan gue yakin, gue masih banyak minusnya.” Akhirnya setelah sadar akan hal itu, gue nggak jadi terbang.

Memuji tapi bukan ngomong hal yang sebenarnya kan bukannya bohong ya? Iya sih, tapi kan namanya juga lagi PDKT, ya tunjukkin aja dulu apa yang pengen dia dapetin, ntar kalau pas udah jadian, baru dah tuh jujur aja kalau dia ngelakuin apa-apa, mau jelek atau bagus. Haha. Biar doinya makin belajar juga, semakin belajar semakin bagus juga buat ke depannya. Nanti pas udah suami-istri kan enak karena udah terbiasa saling terbuka.

Ebi: Kelas Horror



Pagi itu gue dapat sebuah chat dari Pak Supri, dosen rese yang tiba-tiba nyuruh masuk kelas padahal hari ini lagi nggak ada kelas. Emang sih, kelas gue pas pelajaran dia itu ketinggalan banget, mungkin karena beliau kepengen kelas gue bisa mengejar pelajaran dia dan sama kayak kelas-kelas lain. Dan saat itu juga, gue akhirnya mencoba nge-share chatting-an gue sama Pak Supri ke grup, dan respon anak-anak pun beragam.
Ebi nggak bisa baca apa gimana..
#Kita pasti selalu punya teman di suatu grup yang suka bertanya padahal jawaban dari pertanyaan tersebut udah ada di atas. Tapi malah dia nanya lagi. Ngeselin.

Malam itu gue datang sama Ebi ke kampus pakai motor gue, motor Ebi katanya lagi diservis, padahal dia ngomong begitu udah dari 2 bulan yang lalu, gue curiga kalau motornya itu bukan diservis, tapi udah ditarik dealer gara-gara nggak bayar cicilan. Sampai di kampus, gue langsung menuju ke kelas. Di jalan menuju kelas, gue melihat mahasiswa lain melihat dengan tatapan marah gitu ke arah gue dan Ebi. Matanya rada melotot, kedua alisnya mengekerut, diam, sambil memperhatikan gue berjalan. Berasa gue lagi dilihatin sama psikopat-psikopat yang nggak sabar mau mengejar dan merintilin organ gue. Padahal seingat gue, gue nggak merasa habis melakukan kesalahan. Paling banter, kesalahan itu pas gue kemarin turnamen futsal antar kampus dan gue berhasil mencetak gol, ya walaupun ke gawang tim gue sendiri sih.. Tapi gue nggak percaya kalau kejadian itu bisa terbawa-bawa sampai kampus dan jadi kayak pada membenci gue begini. Karena kurang nyaman sepanjang kampus dilihatin orang-orang, akhirnya gue dan Ebi berlari ke kelas biar lebih cepat. Pas sampai di kelas, gue buka pintunya, ternyata kelas pun sudah ramai sama teman-teman gue yang lain, dosen pun sudah duduk di tempatnya. Gue yang merasa terlambat akhirnya menuju ke bangku paling belakang dengan muka yang memerah karena merasa malu sudah terlambat. Gue dan Ebi duduk bersebelahan, lalu gue penasaran sudah berapa lama gue terlambat, akhirnya gue melihat jam tangan di lengan kanan gue yang menunjukkan pukul 19.50 yang mana seharusnya kelas pun belum mulai karena mulai seharusnya pukul 20.00, dan berarti gue masih belum terlambat, tapi tumben-tumbenan anak-anak udah pada kumpul semua di kelas. Akhirnya gue mencoba untuk tetap berpositive thinking, “Mungkin anak-anak lagi pada bersemangat kali ini.”

Setelah masuk kelas dari tadi, belum ada satu pun yang memulai pembicaraan. Semuanya diam, bengong dan nggak bicara apa-apa.
“Bi, lu sadar nggak kenapa dari tadi orang-orang pada diam?” Kata gue sambil melihat sekitar.
Hening.
“Bi?!”
Belum juga ada jawaban. Gue pun mengengok ke arah Ebi, terlihat Ebi sedang menunduk. Mukanya tampak sedang sangat bercahaya. “Ebi!!!” Kata gue teriak.
“Diem, bego! Gue lagi serius nih, kalah lagi malah nanti!” Kata Ebi sinis, lalu melanjutkan main game-nya di handphone.
“Ya, bilang kek kalau lagi main hp! Lu sadar nggak dari tadi itu orang-orang pada bertingkah laku aneh?”
“Aneh gimana?”
“Ya, coba dari pas tadi kita nyampe kampus, orang-orang itu pada ngelihatin kita semua. Sekarang malah di kelas orang-orangnya pada diem semua.”
Ebi lalu berhenti main handphone-nya, menegakkan kepala dan melihat sekitar, “Perasaan lo doang kali, ah! Kebanyakan nonton film horor sih lo!” Kata Ebi, lalu melanjutkan main handphone-nya kembali.
“Yeee dibilangin!”
Lalu setelah penasaran dengan apa yang terjadi, berdasarkan film-film horor yang pernah gue tonton, gue pun mencoba melihat kaki mereka, buat memastikan kalau kaki mereka napak lantai. Gue pun menjatuhkan pulpen gue ke lantai dan pura-pura mengambilnya, sambil melihat kaki mereka. Dan benar saja, dari puluhan mahasiswa dan satu dosen yang hadir, cuma ada penampakan kaki gue dan kaki Ebi dengan sepatu Ebi yang entah udah berapa tahun nggak pernah dicuci, dekil dan kotor banget. Gue yakin baunya kalau sampai tersebar levelnya bisa mematikan sampai 5 ekor gajah dewasa.
“Bi, orang-orang kakinya nggak pada napak!” Kata gue berbisik ke Ebi.
“Masa sih?” Ebi pun langsung spontan melihat ke bawah. “Bener juga!” Kata Ebi terkejut.
“Terus gimana?” Kata gue, panik.
“Kita kabur aja, tapi pelan-pelan, jangan sampai ada yang curiga.”
“Ya udah, gimana caranya?”
“Gue bakal pura-pura ke wc, terus beberapa menit kemudian, lo nyusul, ya? Habis itu kita langsung kabur pulang.”
“Oke.” Kata gue mengangguk.
Jantung gue berdetak kencang, badan gue lemas, kepala gue pusing. Gue nggak berani tengok kanan-kiri, gue hanya menundukkan kepala dan melihat terus-menerus ke arah meja gue. Suasana kelas berubah tiba-tiba menjadi mencekam, bulu kuduk di leher gue spontan mendadak berdiri. Gue berasa lagi ada di film horor. Kaki gue gemetar parah, omongan gue pun 
patah-patah. Keringat dingin bercururan.

“HADUUH…. KEBELET PENGEN PIPIS, KE WC DULU, AH….” Kata Ebi sambil berteriak, berharap satu kelas mendegar, lalu beranjak pergi meninggalkan gue sendirian di kelas.
“Gila, keren banget dia aktingnya.” Kata gue dalam hati.

Biar nggak ada yang curiga, gue mau memberi jarak antara keluarnya Ebi dan gue. Sekitar 5-10 menitan. Tapi nggak lama setelah Ebi keluar, ada suara benda jatuh dari belakang, dan suaranya sangat keras, seperti suara buku binder yang sengaja dibanting. Padahal yang duduk paling belakang itu gue. Which is nggak ada orang lain lagi di belakang gue. Karena gue nggak mau melihat yang aneh-aneh, gue putuskan untuk nggak menengok ke belakang. Selang beberapa waktu kemudian, lampu kelas kedap-kedip sendiri. Cukup lama. Nggak ada satu pun orang yang bereaksi atas kejadian itu, kecuali gue yang udah hampir pingsan. Bulu kuduk gue udah mencapai puncaknya, jantung gue udah berasa pengen pecah, gue pun bermandi keringat. Karena udah nggak kuat, akhirnya gue kabur dengan jalan cepat menuju pintu kelas tanpa berkata apa-apa. 

Sebelum sampai pintu kelas, gue kemudian dihadang sama seseorang. Memakai daster putih kotor yang juga menenggelamkan kakinya, dengan kepala yang tertunduk ke bawah. Rambut hitam panjang berantakan, dan muka pekat siluet. Nggak lama kemudian dia menegakkan kepalanya, melihat arah gue. Terlihat muka yang sangat berantakan, satu bola matanya menempel di pipi. Wajahnya berlumuran penuh darah. Lalu mulutnya bergerak, dan bilang ke gue dengan nada ala-ala kuntilanak “MAU KE MANA, PAN?” lalu mulutnya terbuka lebar, dia tertawa sangat kencang, sedangkan gue teriak dengan sangat histeris. Kaki gue mematung, badan gue berasa lagi dirantai, nafas gue terhenti sejenak. Kemudian makhluk itu nyamperin gue, memegang pundak gue dan mendorong gue hingga terpental jauh. Kepala gue terbentur tembok dengan sangat keras. Pandangan gue pun memudar, mendadak kabur semuanya.
Pandangan gue gelap.
Kepala gue sakit.
Badan gue berasa habis dipukulin.

Tidak lama kemudian, gue mencoba membuka mata. Baju dan rambut gue basah, nafas gue ngos-ngosan. Gue tiba-tiba berada di sebuah kamar, yang hanya diterangi satu buah lampu tidur. Sebelah kanan gue, ada kolong kasur yang amat gelap. Sedangkan sebelah kiri gue ada meja belajar. Gue pun tersadar, ini adalah kamar gue sendiri. Dan yang baru gue ingat, kalau gue tadi tidur nggak baca doa dulu karena kelelahan habis main futsal. "Syukurlah, cuma mimpi, dan gue cuma jatuh dari kasur." Kata gue dalam hati.


Lalu, gue lihat jam dinding di kamar gue, baru aja jam 3 pagi. Gue pun kemudian bangun dari lantai, kembali naik ke kasur. Membaringkan diri di kasur, memasang selimut, dan menghadap ke kanan. Kemudian tiba-tiba terlihat sosok yang tadi muncul di mimpi gue, dan kembali berkata “MAU KE MANA, PAN?” sambil tersenyum dan memperlihatkan giginya yang hancur, lalu kemudian tertawa kencang kembali. Gue teriak, lalu gue kembali nggak sadar diri. Pandangan gue kabur lagi, dan sejak saat itu gue nggak ingat apa-apa. Seolah ada yang sengaja mengambil memori itu dari otak gue, dan menghapusnya. Hingga satu minggu kemudian, gue baru ingat kembali cerita itu ketika gue sedang mengambil buku binder gue yang terjatuh di kamar pas gue lagi belajar. Suara jatuhnya pun mengingatkan gue dengan suara aneh yang ada di kelas dan nggak berani gue tengok itu, saat gue ambil bukunya, ternyata makhluk itu lagi tiduran di kolong kasur dengan tatapan kosong sambil membuka mulutnya lebar-lebar.