Ebi adalah sahabat yang gue kenal
dari pertama kali masuk kampus, dan dia sangat menyukai Surti, teman sekelasnya.
Tapi Ebi sangat takut untuk mengungkapkannya. Kami bertiga adalah teman
sekelas. Sebagai sahabat yang baik, gue selalu mencari cara bagaimana mereka
bisa jadian. Karena setiap ketemu, mereka layaknya orang yang saling nggak
kenal, tidak pernah mengobrol, bahkan duduk berdekatan pun jarang. Ebi hanya berani menyapa Surti lewat facebook.
Suatu hari, gue lagi makan di
warteg dekat kampus, gue dan Ebi makan sehabis jam matakuliah selesai. Dengan
tanpa aba-aba, gue langsung menembakkan pertanyaan ke Ebi yang lagi makan.
“Lo kalau suka sama si Surti,
kenapa nggak diungkapin aja sih?” Kata gue.
“Uhuuk… uhuuk...” sontak Ebi
kaget, terbatuk-batuk.
“Yang namanya jodoh kan emang gak
ada yang tahu ya, siapa tau, si Surti itu adalah jodoh lo, dan lo mungkin
bakalan bisa kehilangan dia kalau lo enggak segera nembak dia.” Kata gue sambil
mengunyah gorengan tahu yang gue pegang.
Ebi diam, sambil mengernyitkan dahinya.
Muka dia memerah.
“Jawab dong, jangan diem aja, kita
ini kan udah lama temen…”
“Diem dulu! Gue lagi keselek,
monyet!” kata Ebi, menyerobot omongan gue.
“Oh, maap, maap, ngomong dong!
Minum dulu, nih.” kata gue sambil memberi air.
Ebi meminumnya.
“Lagian, tiba-tiba lo main nanya
begituan aja, ya gue kaget lah.” Ebi masih kesal, “Sebenarnya gue itu pengen
banget, Pan, buat ngungkapinnya, tapi gue nggak berani.” Lanjutnya.
“Gak berani? Terus lu mau
terus-terusan ngobrol dari pesbuk doang, gitu? Mau sampai kapan? Mau sampai lulus, terus akhirnya dia jadiannya sama gue? Gitu?” kata gue sambil memotong ayam goreng di piring dengan kesal sekaligus bercanda.
“Ya janganlah! Tapi guenya juga
nggak berani. Ya, mau gimana lagi?”
“Mau dekat tapi enggak mau
ngedekatin. Terserah lo aja lah. Pusing gue.” Tutup gue meninggalkan Ebi
sendiri.
“Pan, mau kemana?” Ebi teriak ke
gue yang udah ada di luar pintu.
“Mau balik. Pusing gue ngehadepin
orang kayak elo.”
“Balik sih balik aja, tapi elo belum bayar makanannya, bego!"
“Oh, iya!” gue pun langsung masuk
lagi dan membayarnya.
Ebi sangat menyukai Surti, gue
selalu memperhatikan Ebi yang suka asik sendiri main hp kalau udah chatinggan
sama Surti. Sering ketawa-ketawa sendiri. Ada hal yang menurut gue wajar kalau dia minder
untuk ngungkapinnya ke Surti, seorang Ebi yang bahkan kalau mukanya disamain
sama panci pun, pancinya bakal minder karena kalah jelek. Sedangkan Surti
adalah permaisuri di kelas, bahkan gue pikir bisa juga permaisuri di angkatan
kami. Kepintarannya, wajahnya yang khas ala blasteran Indonesia-Arab, serta
jilbab yang mengikuti trend menjadi identitasnya sehari-hari. Bisa bikin
mahasiswa-mahasiswa kampus terbelalak matanya ketika habis melihatnya.
Sebagai sahabat yang baik, gue harus bisa mewujudkan mimpi teman gue, gue harus membantunya sampai titik darah penghabisan, misi gue adalah bisa mempersatukan mereka.
Bentar-bentar, gue mau ngencengin iket kepala dulu...
***
Di sebuah kelas yang masih sepi dengan dosen yang belum datang juga, jam menunjukkan pukul 10 pagi. Gue memperhatikan Ebi yang lagi-lagi hanya memperhatikan Surti dari bangku paling belakang kelas, dia mengamati gerak-gerik Surti dengan seksama. Sangat menghayati.
“Gue ada ide biar lo bisa dapetin
Surti, tanpa harus ngomong ke dia langsung!” kata gue setelah menghampirinya.
“Gimana tuh, Pan?!” Kata Ebi
semangat, pandangannya kepada Surti menjadi buyar seketika. Bola matanya
menyorot ke mata gue. Mata kami bertemu.
“Cewek itu, paling suka dikasih
kata-kata romantis, digombalin, dengan begitu, besoknya dia bakalan suka sama
lo.”
“Terus?” tanya Ebi, sorot matanya makin
mendalam.
“Lo harus bikin surat cinta buat
dia!”
Ebi diam sejenak, menundukkan
kepala, lalu berkata. “Tapi gue gak bisa nulis, Pan,” keluhnya.
“Gak ada orang yang nggak bisa
nulis, tulis aja apa yang lo rasain sama dia, buat sejujur mungkin, tapi bedanya,
dikemas lebih romantis sedikit. Kayak ditambah majas metafora gitu. Terus
tinggal lo selipin deh di tasnya dia. Pas dia baca, besoknya dia bakalan
langsung suka sama lo! Percaya sama gue.”
“Ok deh, nanti malem gue coba tulis
surat buat dia.”
***
Seminggu kemudian. Di warung depan kampus.
“Gimana? Lo udah dapet tanda-tanda dia suka sama lo belum?” Tanya gue.
“Bukannya jadi suka, kayaknya dia
malah lebih menjauh deh dari gue.”
“Lah, kok bisa? Emang lo kemarin
nulis apaan?” Sontak gue kaget.
“Ya ituu, tulisan-tulisan romantis
yang kayak elo bilang,”
“Iya, kayak gimana tulisannya?”
“Gue tulis, ‘Surti… setiap aku
melihatmu, ingin kutembakkan panah cintaku tepat di jantungmu. Kan kuambil
pisau hati ini, agar aku bisa membedah isi hatimu. Oh Surti… bolehkah aku
mendekatimu, kuingin kamu menyayat jantungku, dan kamu bisa melihat, ada sebuah
nama yang terlukis indah di sana. Dia adalah namamu…’ gitu.”
Gue bengong sebentar, menghayati apa yang ditulis sama Ebi.
“Gimana kalau gue sekarang ngambil
piso, terus gue sobek jantung lo beneran?” kata gue kesal.
“Lah, kok gitu?”
“Ya pantesan aja Surti makin
menjauh, itu mah bukannya Surti suka sama elo, tapi malah bikin lo disangka
psikopat, bego! Lo ngelihat tulisannya dari mana sih?”
“Dari film favorit gue. Soalnya
ceritanya sama persis kayak gue, tentang cowok pendiam yang nggak berani
mengungkapkan cintanya dan dia berhasil jadian. Ya udah gue ikutin aja.
Walaupun di ending-nya,” Ebi terdiam sejenak, lalu berkata, “Si ceweknya akhirnya dibunuh,
sih, sama cowoknya,”
Gue pun pergi meninggalkan Ebi
sendiri.
“Mau kemana lo?” kata Ebi.
“Mau pulang! Nanti malah gue lagi
yang elo bunuh.”
“Kampret!”
0 comments:
Post a Comment